11. ☕ Kembali Ke Pelukan Secangkir Kopi ☕

Start from the beginning
                                    

"Pengendara mobil yang menabrak Emak juga menabrak Nana."

Mulutku sedikit terbuka dengan kedua alisku yang menukik tajam.

"Maksudku, pengendara mobil itu mau melarikan diri. Tapi, beberapa meter di depan, Nana muncul bersama motornya. Pengendara mobil itu tetap saja menyenggol motor Nana, walau sudah banting setir."

Karey menghela napas panjang hingga kedua bahunya ikut naik.
"Nana juga dibawa ke rumah sakit ketika itu. Dia mengalami luka pada wajah, tangan, dan kaki. Tidak begitu fatal, tapi Ngah harus menjenguk dia."

Ya Tuhan. Jadi, itu alasannya mengapa ibu Nana juga berada di UGD? Yang aku ketahui mengenai musibah itu; Emak hendak menyeberang jalan. Tiba-tiba saja sebuah mobil melaju kencang dari arah depan dan menabrak Emak. Emak mengalami benturan keras di kepala, juga luka-luka pada tangan dan kaki.

Teringat dengan wajah pucat Emak di atas brankar saat itu, kembali membuatku bersedih. Ah, ya, yang kupikir sebelumnya jika Emak menghubungiku, ternyata seseorang yang menemukan ponsel Emak yang terjatuh setelah kejadian. Begitu nahasnya sore itu.

Rasa bersalah pun menghampiri, ketika teringat kalau sore itu akulah yang meminta Nana pulang. Ini semua gara-gara aku! Andaikan aku tak meminta Nana untuk buru-buru pulang, andaikan kubiarkan Nana duduk lebih lama di sampingku, andaikan ... andaikan ... ah! Aku kesal pada diriku sendiri. Langsung saja air mataku membasahi pipi lagi, suara isak tangis yang semula dapat kutahan pun kembali terdengar di kamar ini. Apa pun yang kulihat di sekelilingku, rasanya aku ingin memaki diriku sendiri. Ini semua karena aku! Akulah penyebabnya!

"Ngah," panggil Karey lagi. Mungkin melihat sikapku ini. "Jangan sedih lagi," pintanya.

"Ini semua karena aku, Rey." Aku mengangkat kedua lutut dan menyembunyikan wajahku di sana. Bagaimana caranya melenyapkan rasa kehilangan dan bersalah yang hadir secara bersamaan? Aku tersiksa seperti ini. "Nana tidak akan mengalami kecelakaan itu kalau aku tidak memintanya untuk segera pulang." Air mataku pun tumpah lagi.

"Ngah itu ngomong apa, sih?" Kudengar suara adikku bernada jengkel. "Pengendara mobil itu yang salah dan dia akan menebus kesalahannya di penjara."

Cukup lama kami berdua terdiam, mendengarkan suara hujan yang jatuh ke atap rumah. Suara hujan dan tangisanku yang beradu.

"Karey saranin, Ngah lihat Nana ke rumahnya."

Aku tetap diam, masih membenamkan wajah di kedua lututku dan menatap dalam gelap.

"Tapi, Ngah harus makan dulu. Setelah hujan redah, baru datang ke sana."

Masih, aku terdiam dan menangis. Ya Tuhan, semua ini salahku.


Tempat ini masih sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Tembok rumah itu berwarna putih pudar, pun pagar besi yang mengelilinginya. Halaman rumah itu luas, sebagian dipenuhi rerumputan liar dan sebagian lagi dipenuhi bebatuan kerikil.

Aku ingat, kala itu, Nana tidak membawa motor ke Rain Coffee. Aku menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang sebelum maghrib. Lagi pula, ada Bang Itzan di kedai saat itu. Sekarang aku muncul lagi di sini dengan perasaan yang tentu saja berbeda dari sebelumnya.

Kuayunkan langkah melewati bebatuan kerikil, yang membawaku tiba di teras dengan lantai keramik hitam. Baru saja aku menggedor pintu depan, seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Wanita paruh baya itu adalah Bu Wina. Dia menatapku seperti tak percaya bahwa akulah yang berdiri di depannya saat ini.

"Sallu?" ucap wanita paruh baya itu, yang mengenakan daster motif bunga-bunga. Dia melihat ke sekeliling, mungkin mengira bahwa aku berkunjung bersama seseorang. "Ayo, masuk."

Andanan Coffee (Terbit!)Where stories live. Discover now