10. ☕ Air Mata Pada Secangkir Kopi ☕

Start from the beginning
                                    

Aku menghela napas panjang. Semenjak kerja di Rain Coffee, Nana memang sering menemukan hal yang aneh-aneh. Waktu itu, dia pernah cerita kalau ada kejadian yang persis seperti ini. Seorang lelaki usia 30-an tahun sedang bersama perempuan dan seorang anak balita. Nana pikir, yah, mereka sepasang suami istri. Eh, setelah ponsel si perempuan berdering di atas meja, lelaki yang duduk satu meja dengan si perempuan tersebut bilang "Suami kamu telepon, tuh. Diangkat. Bilang saja kamu lagi di mana, gitu. Di minimarket apa, kek". Artinya ... si lelaki itu ... mungkinkah selingkuhannya? Iya, kan?

Aku sendiri belum pernah menemukan kejadian-kejadian yang aneh begitu. Cuma yang aneh, ya itu ... sikap Bang Itzan yang akhir-akhir ini berbeda terhadapku. Ibarat batu es yang mencair. Aku sendiri belum menemukan apa penyebabnya.

"Kamu belum mau pulang?" tanyaku setelah Nana merogoh ponsel dari dalam tas bahunya dan sibuk mengetik sesuatu.

"Ngusir, ya?" Nana berpaling dari layar ponselnya sesaat.

"Bukan, gitu," bantahku. "Kamu pasti capek. Pulanglah. Istirahat."

"Ya, ya." Nana bangkit dari kursinya, merapikan rambut kucir kudanya sejenak. "Sebentar lagi Bang Iztan pasti ke sini. Tadi dia menjaga si Geffie."

"Hati-hati, Na. Lihat jalan. Entar nabrak," kataku, mengulangi perkataan Nana tadi.

Nana pun tersenyum, lalu mengayunkan langkahnya menuju pintu booth. Senyum rekan kerjaku itu benar-benar bisa menggantikan gula. Kalau kehabisan stok gula, bisa menikmati secangkir kopi pahit sembari memandang senyumnya itu. Apaan, sih?

Belum sampai setengah jam Nana berlalu dari Rain Coffee, ketika aku sedang membuat satu gelas plastik alpokat kocok topping keju—pesanan seorang pengunjung yang baru tiba—Bang Itzan muncul. Lelaki itu melangkah buru-buru sekali. Yang membuatku mengerutkan kening, wajah Bang Itzan tampak begitu cemas. Ada apa lagi ini?

Bukan hanya itu, Ghea juga menyusul di belakangnya. Perasaanku yang tak nyaman sedari berangkat tadi, bertambah tak nyaman melihat ekspresi wajah Bang Itzan dan adik perempuannya.

"Sal," panggil Bang Itzan sembari menghampiriku.

Aku menunda untuk memasukkan 45 cc susu kental ke dalam wadah yang sudah berisi alpokat. Sebelum aku sempat bertanya, Bang Itzan bicara lagi.

"Sekarang juga, kamu ikut aku."

"Ada apa, Bang?" Akhirnya pertanyaan itu keluar juga.

"Nanti aku jelaskan," jawab Bang Itzan, lalu lelaki itu melirik adiknya. "Biar Ghea yang lanjutin." Pandangan mata Bang Itzan berpindah pada gelas pengukur dan botol susu kental di tanganku.

Tanpa berkata atau bertanya apa pun lagi, aku menaruh kedua benda yang kupegang di atas meja. Kemudian, aku menarik tas selempangku dan kuraih ponsel dari atas kursi yang tadi kutempati.

Perasaan takut dan cemas bercampur dalam diriku. Lebih-lebih saat melihat ke layar ponsel. Sudah lima kali nomor Emak menghubungiku. Ada apa ini? Tumben-tumbennya Emak menelepon saat masih sore begini. Ah, ya, sedari tadi ponselku dalam mode hening. Pantas saja aku tak dengar.

Kuikuti langkah Bang Itzan menuju mobil pikapnya yang sudah terparkir di tepi jalan. Mengingat ekspresi wajah Ghea yang tak seperti biasa, membuatku juga bertanya-tanya.

"Masuk," pinta Bang Itzan setelah membuka pintu mobil yang sekarang berada di sebelah kananku.

Aku mengambil tempat di jok sebelah kemudi. Begitu mobil melaju, aku kembali bertanya, "Bang, ada apa?"

Bang Itzan sangat fokus mengendarai mobil. Lelaki itu tak menjawab pertanyaanku, yang membuatku memegang tas selempangku dengan erat. Awalnya kukira Bang Itzan akan membawa mobil menuju ke kediamanku. Namun, mobil melaju ke arah rumah sakit. Pikiranku mulai ke mana-mana dan perasaan cemas begitu mendominasi.

Andanan Coffee (Terbit!)Where stories live. Discover now