secuplik harapan.

31 8 0
                                    

🏋 ! Peringatan, 2.2k words.

Haechan sama sekali tidak berkutik. Ia mengekor dibelakang Mark saat Mark membuka pintu dan mengajaknya masuk, bahkan saking anunya Haechan, dia sampai berjengkit saat Mark sedikit berteriak, "Mark pulang."

"Tumben pulang agak sorean, Mark?" Haechan mendengar teriakan lainya. Haechan mengedip, yang ia dengar suara lelaki. Tapi, lucu.

"Loh?! Haechan!" Kepala bulat itu menoleh mendengar suara Jeno, "Jeno, hai!" Haechan menyapa dengan sedikit rasa canggung. Ia menunduk sopan, bermaksud menyapa dua lelaki lain disamping Jeno. Kemudian ia ikut mendudukan di sofa badan saat Mark menarik pelan tanganya.

Mata si cantik terus saja mengintip intip mewahnya rumah Mark dari sela sela rambutnya yang menjuntai. Bukan! Rumah Mark tidak seperti di cerita mafia yang biasa kalian baca. Rumah Mark terlihat sederhana dalam artian yang tidak rumit jika dipandang dengan gaya arsitektur mediteranian. Gaya yang terinspirasi dari bentukan bangunan rumah Spanyol. Identik dengan atap keramik berwarna merah.

Terdapat penyangga besar di teras rumah, lantainya terasa sejuk karena terbuat dari marmer. Kaki gembul Haechan yang terbungkus kaus kaki terus bergerak gerak lucu karena menyukai sensasi dinginya lantai. Jendela di rumah Mark begitu indah menurut Haechan, karena bagian atas jendela dibuat melengkung, jangan lupakan warna hijau tosca yang menurut Haechan sangat cocok dengan warna putih dinding rumah. Sejauh ini di rumah Mark tidak terdapat warna gelap selain keset karena bekas kaki kaki kotor. Bahkan benda benda perabotanpun berwarna cerah, sofa yang ia duduki misalnya, berwarna peach cantik.

Selain memikirkan indahnya rumah Mark, ia memiliki beban pikiran lain. Apakah si Mark tidak capai harus menyapu dan mengepel seluruh rumah ini? Dia tiba tiba tak selera menikah dengan Mark karena, bagaimana kalau dia nanti harus menyapu rumah sebesar ini saat menjadi istri Mark? Haduh, mimpi buruk. Mau tidak menikah dengan Mark, tapi kan Mark ganteng. Masa mau Haechan sia siain.

"Siapa, Mark?" Haechan melirik orang yang bertanya, pipinya sedikit berisi dengan lesung pipit, jangan lupakan lintingan rokok yang bersarang dikedua belah jari telunjuk dan tengahnya.

"Haechan, pak." Mark menjawab santai sambil melepas hoodienya. Alis camar itu melirik pemuda yang lebih muda disampingnya, tersenyum tipis melihat Haechan hanya mengetuk ngetukan jarinya pada paha.

"Dimakan, Chan, ciloknya." Mark berucap sambil meraih cilok yang masih berada di plastik, memberikanya pada si gembul.

Haechan mengangguk, menerima cilok yang Mark berikan kemudian menusuknya dan memasukan ke mulut kecilnya. Pipinya menggembung kala Haechan mengunyahnya dengan perlahan.

"Bubu ngapain didapur? Lama banget?" Mark kembali bersuara, mengambil cilok milik Mark, meraih ponsel dan menggulir asal layar ponselnya.

Si Bungsu melirik, sebelum kembali fokus pada laptopnya, "beres beres kali, bang. Bapak tadi coba masak didapur, yang ada bukanya kenyang malah jadi kapal pecah." Tak lama setelah kalimat itu terlontar terdengar teriakan 'aduh'. Rupanya si bapak dengan tega memukul pundak anaknya.

Haechan hampir saja berteriak marah saat ia merasakan seseorang yang tiba tiba datang dari belakang kemudian seenaknya mengusap usap kepalanya dan menarik pipinya. Haechan baru akan membuka mulut dan mengomel panjang sebelum ia mendongak dan bersitatap dengan mata bulat yang bertabur binaran lucu dihadapanya. Haechan mengedip, mengamati orang didepanya. Kurus, putih, cantik, rambutnya sedikit panjang. Waria, ya? Tidak, Haechan hanya bercanda soal waria.

"Pacarnya Mark, ya?" Haechan menggeleng brutal. Dalam hatinya sih aamiin aamiin terus.

"Calon istri kali, Bu. Iya kan, bang?" Jeno berbicara asal kemudian menaik turunkan alisnya, menggoda Mark dan Haechan. Mark terlihat santai dan mengedikan bahu tak acuh pada saudara tengahnya itu, sedangkan Haechan sibuk menatap kemana saja asal bukan ke orang di dalam rumah.

[MarkHyuck]  - Antara.Where stories live. Discover now