Rangga mengangguk mantap, ia mengacungkan kedua jempol tangannya untuk Brian.

"Gue sering ketemu manusia tipe ini ketika menghadapi kasus-kasus besar. Mereka sangat teliti dan berhati-hati. Dan gue harus waspada. Perasaan terisolasi secara sosial telah meningkat, dan kejahatan ini adalah manifestasi dari kebencian buta yang dihasilkan dari itu. Di dunia ini ada orang-orang yang mudah menerima kebencian buta karena tadi, psikologis mereka terganggu. Tapi, di dunia ini pun ada orang-orang yang walaupun sudah tersakiti tetap memilih jalan yang baik dan benar," Rangga melihat Brian yang mengangguk pertanda setuju.

"Okay, gue ngerti. Kalau memang kasus ini memiliki fakta seperti itu. Berarti sistematis banget, ya? Memang agak janggal juga, sih, kalau gue perhatikan lebih dalam. Ini kasus udah terjadi dalam kurun waktu yang dekat, korban juga gak sedikit. Tapi, kenapa malah di tutup begitu aja tanpa penyelidikan lanjutan atau kasusnya dibuka lagi? Berarti ini kasus besar. Menurut lu gitu, gak?" 

Rangga menghela napasnya panjang, "betul, dan gue gak bisa sembarangan. Feeling gue kuat, kalau ini bukan kasus biasa. Lu pun tahu, kasus pembunuhan yang sistematis biasa dilakukan oleh tersangka yang mengalami gangguan kepribadian. And, it will be not easy to solve. It takes time and so much effort, also sacrifice."

Kini gantian Brian yang menghela napas berat dan panjang, "terakhir kali kita tangani kasus macam gini. Kita sampai kurang tidur. Benar-benar gila, lu masih ingat, kan? Kita semua sampai sering nginep di kantor, paling cepat pun pulang tengah malam."

"Iya, gue masih ingat. Hari-hari yang melelahkan dan banyak tekanan. Kita seperti bertarung dengan waktu, belum lagi media yang kadang malah memperparah situasi karena berita yang dipenuhi dengan berita menyeramkan. Yang akhirnya membuat situasi publik jadi tegang dan penuh dengan ketakutan. Karena yang dikhawatirkan dari kasus seperti ini adalah, tersangka pembunuhan mempelajari kejahatannya dan MO-nya pun terus berevolusi. Itu bagian yang kadang buat gue frustrasi dan jadi gak sabaran untuk cepat-cepat tangkap pelakunya."

Brian memijat keningnya pelan, "kalau emang ini firasat lu akan kasus ini. Gue siap bantu, karena gue gak mau ada korban lainnya lagi. Walaupun mereka narapidana, mereka tetap punya hak untuk hidup dengan layak. Let's face it together. Gue harap lu gak sendirian menanggung beban."

Rangga sedikit terkejut begitu mendengar pernyataan Brian, ia menatap Brian dengan tatapan heran.

Brian yang melihat tatapan Rangga itu hanya tertawa kecil, "kenapa? Gue serius mau bantu. Kalau perlu besok kita buat laporan kasus ini dan bicara dengan kepala pimpinan."

Rangga mengernyitkan alis kanannya, "kenapa lu mau bantu gue?"

"Karena..." Brian terdiam sejenak, ia menatap ke arah jendela kaca besar yang memperlihatkan gedung-gedung tinggi di kota metropolitan.

"Karena keluarga korban yang selalu menderita. Gue tahu, keluarga korban pasti akan menyimpan kenangan menyedihkan itu selama hidup mereka. Walaupun para korban itu narapidana, tapi, mereka punya keluarga, bukan? Dan, gue selalu merasa sakit setiap mengingat hal itu. Air mata kesedihan dan rasa kehilangan itu gak bisa diganti dengan apapun."

Rangga tersenyum lebar begitu mendengar perkataan Brian, ia lihat Brian bersungguh-sungguh dengan perkataannya. Ekspresi wajah Brian langsung berubah menjadi sendu begitu mengatakan hal itu. Ia pun terdiam sambil terus menatap keluar jendela.

Tidak salah, jika Brian mendapatkan penghargaan sebagai detektif terbaik dan bertahan di sana selama empat tahun belakangan. Seorang detektif sejati, adalah seseorang yang tidak hanya peduli pada kasus maupun fakta-fakta, tapi, mereka juga adalah sosok yang memiliki empati dan kepedulian dengan para korban. Tanpa melihat situasi dan kondisi korban yang seperti apa. Karena di dunia ini tidak ada satu pun manusia yang nyawanya pantas dilenyapkan dengan cara yang kejam dan bengis. Semua manusia di dunia ini memiliki hak untuk hidup dan mati dalam keadaan terhormat dan layak.

Rangga belajar banyak hal dari Brian, walau ia adalah seorang teman yang cerewet dan sok tahu. Rangga tetap menganggapnya sebagai rekan dan kawan yang baik. Entah sudah berapa kali Brian menyelamatkannya dari kecerobohan dan sikap berlebihan Rangga yang terkadang tak terkendali karena terobsesi dengan kasus-kasus yang sedang ia tangani.

Walau Rangga selalu keras kepala dan sinis, Brianlah satu-satunya orang yang tetap akan berdiri di samping Rangga. Pria berkacamata itu seperti sudah kebal dengan sikap menyebalkan dan perkataan tajam Rangga. Brian lebih tua dua tahun dari Rangga, dua hari yang lalu Brian baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke 32.

Ya, baik Brian maupun Rangga adalah lajang yang sangat sibuk dan sudah larut dalam kesenangan pekerjaan mereka masing-masing. Terkadang Rangga lelah begitu sering mendengar pertanyaan kedua orangtuanya ataupun saudara-saudaranya yang menyuruhnya lekas menikah. Karena kesal dan panas telinga Rangga mendengarnya, ia lebih memilih tinggal di kost-an yang tidak jauh dari tempat kerja.

Berbeda dengan Brian yang memang memiliki rumah sendiri, Brian terlahir dari keluarga yang kaya. Kedua orangtuanya tinggal di amerika dengan kakak pertamanya yang sudah berkeluarga juga di sana. Brian tidak seperti Rangga yang sering ditanyai perihal pernikahan, kedua orangtua Brian tidak terlalu ambil pusing dengan hal itu. 

"Oiya, gue bawa lemon tea di kulkas. Kebetulan ada dua, lu mau, gak?" Brian bangkit tiba-tiba sambil menepuk keningnya.

"Boleh," jawab Rangga sambil bangkit dari duduknya juga.

Brian lalu tersenyum manis sambil merangkul pundak Rangga akrab, mereka berdua pun berjalan santai menuju dapur.

"Biar adil, nanti siang lu traktir gue es cendol di depan kantor, ya?" ucap Brian membuat Rangga terperangah.

"Shit! Gue kira gratis ini lemon tea. Gitu, lu, ya? Perhitungan sama teman lu sendiri. Dasar anak kapitalis!" ceplos Rangga dengan canda sambil mengacak-acak rambut Brian.

Brian hanya tertawa lepas dan balik memukul pundak Rangga.








🤝 Bersambung 🤝

PSIKE | TELAH TERBITDove le storie prendono vita. Scoprilo ora