6. The Unforgiving Sea of Misery

32 4 0
                                    

"Aku enggak tahu harus ngapain lagi, Mama enggak pernah mau dengar. Mama enggak pernah mau mengerti. Tapi, Mama bilang, aku yang enggak mau mengerti Mama.

"Aku enggak tahu harus ngomong apa. Aku udah jelasin semuanya sama Mama, aku udah ngasih banyak bukti, aku juga udah berusaha menjauh dari pertikaian dengan Mama. Tapi, Mama tetap bilang aku yang salah.

"Aku enggak ngerti salahku di mana.

"Karena Mama enggak pernah ngasih tahu secara spesifik, apa yang kuperbuat sampai bisa disebut salah. Aku enggak ngerti, dan aku ingin ngerti. Tapi Mama bilang aku cari alasan aja biar enggak disalahin.

"Aku salah apa, Dokter? Aku udah coba semua yang dokter bilang, tapi Mama tetap enggak berubah. Di matanya, aku tetap anak yang suka bohong dan menuduh orang.

"Dokter, aku mulai berpikir kalau yang aku derita bukan stress. Mungkin, aku juga suka berhalusinasi. Apa aku berhalusinasi? Apa aku bisa berhalusinasi sampai berpikir orang-orang di sekitarku salah?

"Dokter, aku juga enggak mau disalahin Mama terus. Banyak hal yang terjadi padaku, tapi Mama seolah menutup mata.

"Padahal, oknumnya suami Mama sendiri. Aku bahkan enggak mau sebut dia dengan sebutan 'ayah'. Karena menurutku, laki-laki itu enggak pantas menjadi ayahku.

"Aku tahu ini enggak boleh, Dokter. Tapi, aku enggak mau menderita cuma karena satu orang. Orang itu suami Mama. Kami tinggal seatap. Rasanya, aku lebih baik kabur saja dan tidak pernah kembali.

"Tapi, Dokter 'kan pernah bilang untuk enggak kabur karena akan menimpulkan banyak masalah. Tapi ..., aku banyak tapi-nya, ya, Dokter?

"Habis, Mama tidak pernah percaya.

"Aku sudah memberikan banyak bukti penganiayaan seksual yang suami Mama lakukan kepadaku, tapi Mama bilang untuk enggak mikirin itu.

"Mama bilang, suami Mama udah enggak kayak gitu. Berarti, saat penganiayaan seksual itu terjadi, Mama sudah tahu, 'kan, Dokter?"

Pasienku perlahan menitikkan beberapa tetes air mata. Alih-alih terlihat frustrasi, dia malah tersenyum getir.

"Terus, Mama diam aja?"

"Mama tahu aku dianiaya, tapi Mama diam aja? Haha! Mama kadang suka lucu, padahal tahu, tapi kenapa suaminya enggak ditinggalin? Bukankah itu udah bendera merah untuk Mama?"

"Aku takut, Dokter. Sekarang, setiap suami Mama pulang, aku mengurung diri di kamar. Mama malah bilang aku anak enggak tahu diri yang pemalas, kerjaannya main hape di kamar. Padahal, aku 'kan enggak mau ketemu suami Mama.

"Aku juga udah bilang soal trauma yang aku alamin. Tapi, Mama bilang jangan dipikirin. Mama selalu bilang jangan dipikirin. Aku udah ngasih tahu arti dari trauma itu apa. Tapi Mama ...."

Tangisnya mulai menjadi.

"Aku benci Mama."

Benci adalah perasaan yang kuat; kata yang kuat. Aku belum pernah berinteraksi banyak dengan orang tuanya, tetapi dari bahasa tubuh dan ekspresi pasienku, dia tidak berbohong.

Kecuali kalau dia pernah belajar cara berakting.

Akan tetapi, bila memang demikian, untuk apa dia menemuiku langsung dan bukannya menyebar cerita itu untuk dikasihani?

Aku prihatin.

Aku kesal.

"Aku benci Mama.

"Mama enggak pernah bertanya, tapi Mama selalu bilang kalau Mama mengerti dan mengenalku. Lalu mengatakan kalau aku yang enggak ngerti Mama.

Cerpen 3 Tema: A New StartWhere stories live. Discover now