9. The Escort Lady

Start from the beginning
                                    

Saskia menatapnya sebentar, dan kembali menunduk. Terlihat terus menimbang di dalam hatinya. Diam-diam, Diana bertatapan dengan Bejo, lalu mereka saling memberi tanda ke arah ponsel dan tas Saskia yang harganya jelas tak terjangkau dengan gaji jurnalis seperti mereka. Ponsel lipat terbaru dan tas bermerek inisial huruf H. membeli KW super saja sudah sujud syukur, ini asli!

"Saya enggak mau ada foto, ya, Mbak? Blur juga jangan, saya takut." Saskia mengangkat kepala dan langsung bicara, memutuskan dialog tanpa suara antara Diana dan Bejo.

Diana mengangguk dan terus tersenyum menenangkan. "Bagaimana kalau siluet? Mbak Saskia hanya akan terlihat seperti bayangan?" tawarnya.

Saskia menimbang. "Suara juga diubah, kan?"

"Ya, jelas."

Kembali menimbang. "Oke. Tapi kita ke tempat lain yang lebih private, bisa?"

"Tentu. Kantor kami?"

Saskia menggeleng. "Apartemen saya."

Tanpa sadar, Diana dan Bejo kembali berpandangan, kali ini dengan mata membesar maksimal. Apartemen?

******

"Serem ya, Jo, semua hal yang kita enggak pernah tahu ada, ternyata beneran kejadian di dunia Saskia," komentar Diana sambil mendengarkan lagi rekaman Saskia yang dibuat beberapa waktu lalu di apartemen gadis itu.

Bejo mengangguk sambil tangannya dengan lincah memutar roda kemudi. "Tapi kasihan, ya, Di? Umurnya masih awal dua puluhan, tapi udah ngerjain hal-hal yang ... yah, lo bayangin deh kalo nyokap bokapnya tahu."

Diana mengangguk, dan pikirannya pun melayang pada wawancara tadi. Rasa simpati membanjir mengingat apa yang disampaikan seorang semuda Saskia.

Gadis itu adalah seorang mahasiswi hukum di universitas ternama. Dia aktif dan biasa berorganisasi. Pekerjaannya pun dianggap bergengsi karena tempatnya adalah gedung di mana para wakil rakyat berkumpul. Masalahnya, apa yang dilakukannya sama sekali bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Dia adalah seorang escort lady yang bertugas melancarkan pelobian saat sebuah rumusan undang-undang mulai dibahas. Bukan hanya membawakan berkas dokumen rancangan UU untuk dipelajari dan dibahas oleh anggota tertentu, dia juga menjadi bagian dari paket yang ditawarkan oleh pihak yang akan diuntungkan oleh rancangan tersebut. Tentu saja, dalam artian yang tidak positif sama sekali.

Saat cerita tentang apa yang dia kerjakan meluncur dari bibirnya tadi, sikapnya yang semula terkendali dan tampak begitu elegan, hilang begitu saja. Ada nada rendah diri dalam suaranya, dan dia bertransformasi menjadi gadis muda normal yang sedang ketakutan. Wajar, karena dengan menceritakan semua itu, dia membuka sebuah tabir gelap yang selama ini tertutup rapat. Saat apa yang dia lakukan terungkap di media, maka pandangan masyarakat terhadapnya dan rekan-rekan lain, termasuk kepada mereka yang mungkin tidak melakukan apa yang dia lakukan, akan berubah menjadi negatif.

"Menurut lo, aman, enggak, kita buka ini ke publik, Jo?" tanya Diana sambil menerawang.

Bejo menghela napas dan menimbang sejenak jawabannya. "Uhm ... Saskia sendiri yang kontak elo, Di. Dia memang ingin ini dipublikasikan."

Diana mengangguk. "Tapi ... kalau kerjaannya itu terbongkar, reaksi masyarakat terhadap mereka yang kerja di gedung itu akan sangat jelek, Jo," katanya.

"Jelas, Di. Tapi, Saskia sendiri bilang, dia terpaksa membongkar ini karena adanya kemungkinan seseorang dalam bahaya, kan?"

"Iya. Dia berharap, dengan kita membuka ini, seenggaknya publik akan waspada. Kalau sampai jatuh korban betulan, mereka akan tahu pasti ada yang merekayasa kejadian itu. Gue sih nangkep, intinya itu. Saskia cuma ingin mencegah kematian seseorang. Mungkin dia takut dikejar dosa."

"Mungkin."

"Sayangnya, kita cuma punya pernyataan Saskia, Jo. Bukti kurang. Lo tahu, kan, kalau sebagai jurnalis gue harus cek fakta?"

"Dan ... gimana cara lo cek fakta?"

Diana termenung. "Apa gue nyamar aja jadi salah satu dari mereka? Jadi, gue bisa ambil gambar dan rekam suara, Jo? Sekalian, kalau ada anggota dewan yang ganteng, kan gue bisa icip dia di ranjang?"

Bejo langsung menempeleng bahunya. "Eling! Mulut lo sampah beut! Lagian, tampang lo enggak mungkin mahasiswa, Di. Lo juga udah lumayan dikenal."

Diana cengengsan. Namun, cengirannya menghilang saat Bejo menyambung. "Satu lagi, kalau lo berani nyusup, gue enggak yakin lo bisa keluar hidup-hidup, Di. Mungkin, gue akan nemuin lo di salah satu jembatan Ancol, nyangkut setelah lama ilang. Lo enggak boleh bikin nyokap lo kehilangan lagi."

Diana termangu selama beberapa saat. Benaknya berputar, dan dia langsung teringat pada sesuatu. "Jo ... kalau menurut lo, gue mungkin enggak selamet seandainya ketahuan, gimana dengan Saskia?" tanyanya, cemas setengah mati.

Bejo ikut termangu. "Di ... kok perasaan gue enggak enak, ya?"

Diana mengembuskan napas. Cepat, dia mengambil ponsel dan memutar nomor Saskia. Terdengar nada sambung. Satu ... dua ... lalu mesin penjawab. Dia mematikan ponsel dan menatap Bejo horor.

"Kita balik, Jo, gue juga merasa enggak enak."

Bejo mengangguk dan langsung mengambil jalur kanan untuk mencari putaran balik. Jantung keduanya berpacu, entah kenapa, rasanya mereka telah membuat kesalahan.

BERSAMBUNG

Sebelum lanjut, eike mau tegasin, ini fiksi ya. Hehehehe.

So, met istirahat bentar lagi, sampe ketemu di bab lain atau cerita lain.

Makasih banyak buat yang ngikutin, vote, komen. I wuf u deh.

Stay safe, stay healthy, always care.

Bless you all.

Winny
Tajurhalang Bogor 1 Juli 2022, publish ulang 23 Oktober 2022

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now