Sebuah Permintaan

15.9K 327 6
                                    

Kedua mataku memandang lurus ke arah pemandangan di depanku. Berbeda dengan suasana semalam yang amat sunyi, sepi dan gelap mencekam. Pagi di kampung ini terasa begitu asri, tepat di depan rumah Aidil ada sebuah gunung besar yang kemarin tak dapat kulihat karena gelap dan juga tertutupi kabut pasca hujan. Perkampungan tempat Aidil tinggal di dominasi oleh pepohonan karet.

Berdasarkan informasi yang aku dapat dari Aidil, ternyata saat ini aku berada di suatu tempat nan jauh di ujung terpencil Garut. Bahkan menurut Aidil, dari sini ke pusat kota bisa memakan waktu 5 jam berkendara motor. Untuk sampai ke jalan aspal saja butuh waktu sekitar 1 sampai 2 jam menuruni kawasan hutan pohon karet dengan jalanan yang didominasi oleh batu dan kerikil.

"Dimakan Kang Jo pisang gorengnya, maaf ya seadanya," celetuk Aidil dari belakangku sambil membawa sepiring penuh pisang goreng tepung ditemani seduhan kopi instan.

"Aduh Dil, padahal nggak usah repot-repot."

Aidil tersenyum. "Nggak apa-apa kang, sesekali."

Aku kembali melihat ke arah Aidil yang memakai baju kaos lusuh dan topi khas petani. "Lo mau ke mana Dil?"

"Nggak ke mana-mana kok kang, ini sekalian aja pake baju kerja biar nanti siang sekaligus anter kang Jo nyari bengkel nggak usah ribet ganti baju lagi."

Aku mengangguk pasif, dari yang kutau memang Aidil bekerja di dekat area pintu masuk kawasan hutan karet. Di sana dia bekerja pada seorang juragan beras, Aidil adalah satu dari banyaknya orang yang dipercayai untuk menjaga area sawah milik orang itu.

Saat pertama kali mendengar Aidil bercerita tentang pekerjaannya, aku merasa kaget. Karena upah yang diberikan sangatlah minim, padahal beban kerja dan tanggung jawab Aidil sangatlah besar. Meski begitu, Aidil tetap tersenyum polos dan mengatakan padaku kalau dia bersyukur karena masih banyak orang di luar sana yang keadaannya lebih susah darinya.

Sungguh, pribadi Aidil berbanding terbalik dengan diriku. Sejak kecil aku terbiasa selalu mendapatkan yang terbaik, pendidikan, fasilitas, sokongan, semua itu aku dapatkan sebagai priviledge terlahir dari orangtua berkecukupan, hal itu membuatku manja dan selalu merasa kurang.

Meski mendapat banyak benefit, tak pernah sekalipun aku bersyukur atas apa aku punya, jangankan bersyukur, berterima kasih kepada kedua orangtuaku pun aku tak pernah. Padahal kalau bukan karena mereka, aku tidak akan mampu menggapai posisiku setinggi saat ini. Jujur, aku benar-benar malu pada Aidil.

"Kenapa kang?"

Lamunanku buyar. "Nggak, gue cuma kagum aja sama lo."

Aidil tertawa. "Kagum kok sama saya kang, saya mah cuma lulusan SMP. Kerja aja serabutan, nggak pantes dikagumi. Kalau saya orang hebat, nggak mungkin istri saya sampai harus kerja jauh ke negri orang."

"SMP? Kenapa nggak lanjut SMA Dil? Tanggung."

Aidil tersenyum, tapi aku bisa menangkap setitik ekspresi sedih di wajahnya. "Saya mah orang susah kang, begitu lulus SMP saya disuruh kerja sama mendiang bapak. Katanya mending buat bantu-bantu ekonomi keluarga. Lagian di sini nggak ada SMA kang, jauh."

"Saya mah pecundang kang, istri saya aja nggak bisa hargain saya sebagai suami dia. Tapi saya nggak mau nyalahin siapapun, nggak apa kalaupun orang memandang saya rendah. Kenyataannya begitu, tidur aja saya numpang di rumah istri."

Tanganku mengepal, aku tidak suka saja mendengar Aidil merendahkan dirinya sendiri. Bagiku dia itu sosok hebat, jarang orang seperti dia kutemui di pola sosialku di ibu kota. "Dil, lo tuh hebat. Umur lo berapa?"

Aidil terkekeh, dia menganggap ucapanku sebagai lelucon. "November nanti saya 27 tahun kang."

"November? Gue juga November masuk 27 Dil."

Kejantanan Ustad AidilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang