"Terima kasih, saya usahakan datang" ucapku lalu menunggunya keluar dari mobil dan aku pergi menuju rumah, waktunya untukku beristirahat.

🕊️

Nara baru saja memasuki kamarnya. Ia meletakkan tas dan koper yang sempat ia bawa berlibur kemarin. Ia membereskan barang barangnya sambil otaknya terus terusan memikirkan tingkah Adimas kepadanya hari ini. Tak sekali dua kali pria yang lebih tua itu mengalihkan topik, berbicara lembut, bahkan tadi ia semoat protes tentang adegan ciuman.

"Aneh" gumam Nara.

Namun, satu hal yang terbesit di otaknya adalah gadis yang Adimas bicarakan selama ini. Seakan gadis itu sangat berpengaruh dalam hidupnya, dan seakan Adimas melihat diri gadis itu ada dalam dirinya. Hal itu terus menjadi pertanyaan dalam dirinya.

Sejak awal mereka bertemu, tatapan Adimas pada Nara memanglah berbeda, dan Nara bisa merasakannya. Seperti yang orang lain lihat, Adimas adalah pribadi yang dingin dan pendiam jika berada di tempat umum, dan menjadi berisik saat bersama dua teman dekatnya. Namun, saat bertemu Nara, tatapannya bukanlah ceria ataupun dingin, malah tatapan sendu dan sedih yang ia dapat dari pria tersebut.

Nara juga tak jarang berbicara dengan Adimas tanpa menatap matanya, lebih tepatnya Adimas selalu mengalihkan pandangan darinya. Apakah itu tidak cukup untuk menyebutnya aneh? 

Di sisi lain, hati Adimas semakin bimbang dengan perasaannya sendiri. Ia banyak melamun sejak ia pulang mengantar Nara malam itu. Hatinya yang terasa hampa perlahan menghangat lagi berkat Nara.

Saat pagi tiba, Adimas hendak pergi ke makam Venna, lagi. Kali ini ia membeli satu bucket bunga Lily seperti janjinya terakhir kali. Ia kembali duduk di sebelah gundukkan tanah dengan nisan yang bertuliskan nama gadisnya.

"Na, gue udah lulus. Harusnya kita nikah gak, sih?" monolognya. "Bodo amat dikatain nikah sama bocil, asal bocilnya elo" Adimas tersenyum kecil dengan omongannya sendiri.

"Omong omong, lo ijinin gue buat move on gak? Tuhan udah ngirim sosok yang terlalu mirip sama lo, Na"

Tak lama setelah ucapan dari Adimas tertutur, matahari bersinar sangat terang menerangi tempat itu. Adimas tersenyum kecil.

"Ini emang kebetulan atau ini jawaban lo?"

"Satu lagi, bentar lagi lo ultah lagi, kan? Gue janji bakal kesini lagi bawain lo kue tart. Lo tau, kan, gue gak pernah ingkar janji" ucapnya terakhir kali. Ia berpamitan sekali lagi dan akhirnya pergi meninggalkan makam.

Biasanya setelah dari makam ia akan pergi ke kampus untuk berkegiatan. Namun, sekarang ia adalah pengangguran sementara. Akhirnya ia memutuskan untuk menghampiri rumah pengangguran lainnya yang tak lain dan tak bukan adalah Rio. Rio sering ada di rumahnya sendirian, terkadang bersama adiknya, Kara atau dengan salah satu pembantunya. Dan tidak ada alasan baginya untuk tidak ada di rumah.

Fun fact, pertemanan trio ini bukanlah sekedar pertemanan biasa. Mereka selalu saling membantu menyembuhkan luka satu sama lain. Menyembuhkan Adimas dan traumanya dengan sosok lelaki, membantu mengurangi anger issue Rio, serta membantu Janu yang hatinya berkali kali dibuat mainan oleh wanita. Sangat harmonis bahkan nyaris seperti tak nyata.

Kembali ke topik, saat ini Adimas sudah duduk di karpet ruang tengah rumah Rio, ia memainkan ponselnya sebentar sebelum Rio membawakan sekaleng cola. Seperti biasa, rumah itu sepi hari ini, hanya ada Rio dan Adimas.

"Bokap nyokap jaga, ya?"

"Au dah, katanya lagi musim sakit" jawab Rio dengan sedikit nada malas.

"Kara?"

"Lo kesini mau ketemu gue atau adek gue, sih?" protes Rio.

"Ya, kan, sekalian atuh. Silahturahmi ini namanya"

"Banyak alesan. Kara masih sekolah, bentar lagi juga balik" jawabnya lagi. "Gak sekalian nanyain Nara lo?"

"Emang boleh?"

"Ya kaga ngapa, toh kalau lo gamon bukan salah gue, kan?"

"Dim, adek gue persis sama Venna. Gue juga kaget begitu lihat Venna in real life. Makanya, gue juga ikut sakit ngelihat dia gak ada, bahkan gue gak berani dateng ke pemakaman dia waktu itu" jelas Rio tiba tiba.

"Gue takut, Nara berakhir sama kayak Venna. Dan kalaupun itu terjadi, pasti akar masalahnya adalah gue sendiri"

"Gue tau gue gak tau diri, tapi gue boleh minta tolong gak?" ucap Rio seraya menoleh kepada Adimas.

"Tolong jagain adek gue, kayak lo jagain Venna dulu" ucapnya singkat yang hanya dibalas tatapan tanpa arti dari Adimas.

"Gue bukannya mau nambahin luka lo, cuma-"

"Iya, gue paham" potong Adimas. "Tanpa lo suruh pun juga udah gue lakuin" singkatnya.

"Tapi minimal kalau ada tamu tuh kasih makanan kek, gue udah denger isi hati lo masa lo gak denger bunyi perut gue? Gak peka lo" rajuk Adimas balik untuk mencairkan suasana. Rio membalas Adimas dengan tendangan kecil pada pahanya sambil bangkit menuju dapur. Baru saja ia akan melangkahkan kakinya, pintu terbuka lebar dengan seorang pria berdiri ditengahnya.

"Brodii, abang Janu bawa bakso"

"Untung lo dateng, Nu. Nyaris gue disuruh bikin indomie siang bolong begini sama Dimas" ucap Rio sambil mengelus dadanya.

"Dimas nih berduit tapi kayak gelandangan miskin, anjir" balas Janu sambil meletakkan bungkusan bakso di meja.

"Lo lupa kemarin liburan pakai mobil siapa?" sindir Adimas.

"Bokap lo" ucap Rio dan Janu serentak.

"Bener juga, sih"

🕊️

tbc.

©shiningjulyy

HELIOPHILIA | Doyoung x Sejeong Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum