6. Sang Wartawati Genit

Mulai dari awal
                                    

Diana langsung cemberut. "Kok 'Ibu', sih, Mas? Memangnya saya kelihatan kayak ibu-ibu, ya?" sahutnya dengan nada merajuk.

Sang satpam tersenyum sabar. "Maaf. Mbak kalau begitu. Ada masalah apa? Bisa dibantu?"

Diana menunjuk ke mesin ATM. "Kartu saya ketelan, Mas. Salah password, maklum deh, pikiran saya lagi bercabang. Aduh, mana buru-buru mau ngejar berita, ini," keluhnya, kali ini kelewat dramatis.

Satpam itu mengangguk-angguk. "Coba saya cek, ya," katanya sambil sedikit maju untuk mengecek mesin atm. Bukannya menyingkir, Diana malah tetap berdiri di tempatnya, membuat sang satpam sedikit bingung.

"Maaf, bisa tolong geser sedikit, Mbak?" pintanya, sopan.

Diana pura-pura bodoh. "Oh ... iya." Hanya sedikit, dia bergeser. Tanpa prasangka, sang satpam tampan mencoba mengecek mesin ATM.

"Sepertinya, Mbak harus minta kartu baru, mari saya antar ke CS," katanya kemudian.

Diana berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Oke, tolong, ya, Mas," katanya dengan nada semanis gula.

Setelah tersenyum pada pengantri yang sudah begitu sabar menunggu di belakangnya, Diana pun mengikuti sang satpam menuju ke layanan pelanggan. Satu kali dia menyentuh lembut lengan sang satpam, seolah-olah tidak sengaja, dan tersenyum secantik mungkin saat pria seksi itu menoleh dengan mata melebar.

"Uhm ... Mas, boleh kenalan? Saya Diana, wartawati. Sudah lama kerja di sini?"

*******

Satpam bernama Prasetyo dengan panggilan Setyo itu manis, sopan, sangat ramah, tetapi Diana yakin kalau pria itu masih polos. Ekspresinya yang bingung saat dimintai nomor ponsel begitu murni, tidak ada tatapan paham ataupun merasa ge-er karena didekati seorang perempuan yang jelas menganggapnya menarik. Diana harus mencari alasan yang tidak menjatuhkan harga dirinya hanya untuk mendapatkan nomor ponsel seorang pria, dan itu adalah sejarah. Baru kali ini dia seperti menghadapi seorang perjaka. Atau ... Setyo memang masih perjaka? Aih ....

"Kenapa senyum-senyum sendiri?" Ora, si pengacara judes yang baru menikah itu duduk di sebelah Diana yang asyik mengembuskan asap rokok sambil melamun. "Matikan rokokmu, jangan racuni paru-paruku dengan asap favorit manusia-manusia egois yang enggak memikirkan orang lain itu."

Diana merengut dan mematikan rokoknya di asbak kecil yang disediakan resto cepat saji tempatnya menunggu Ora. "Enggak perlu kamu jabarin juga kali, Ra, soal rokoknya. Kamu bilang aku boleh pilih tempat. Nah, ini area smoking, aku enggak ngerokok di tempat orang yang enggak merokok, oke? Aku enggak seegois yang kamu pikir."

Ora menatap dingin. "Tapi kamu tahu kalau aku benci rokok, dan malah pilih tempat di sini. Egois, kan?" tukasnya. "Lagi pula, perokok yang merokok di dekat orang lain yang enggak merokok memang egois, kok, karena dia enggak peduli kalau tindakannya itu merusak kesehatan orang lain. Harusnya, kalau ingin membunuh diri sendiri pelan-pelan, lakukan dengan benar. Jangan keluarkan asap yang kalian isap, telan saja, biar enggak ngorbanin orang lain, cukup paru-paru kalian sendiri. Ngerti?"

Diana memutar mata. Astaga ... delapan tahun berlalu dan si Ora masih sejutek dan seketus dulu? Ampun, deh. "Oke! Aku nyerah. Saklek banget sih, kamu. Kita pindah aja, oke?"

Ora mengangguk dan berjalan mendahului Diana yang harus merapikan nampan makanannya dan juga peralatan yang dibawa. Jengkel, dia menoleh kepada Bejo dan membelalak.

"Bantuin!" katanya tanpa suara.

Bejo menggeleng dan menjawab tanpa suara juga. "Ogah! Temen lo serem, atut."

Diana berdecak, terpaksa membawa barang-barangnya dengan kerepotan ke meja yang dipilih Ora. Teman lama Diana itu sudah duduk dengan punggung tegak dan menatapnya tak sabar. Saat Diana duduk di depannya sambil bersungut-sungut, Ora menaruh tangannya di atas meja.

"Ingat kasus pemerkosaan Mbak Tatik?" tanyanya, tanpa menunggu Diana selesai menaruh semua barangnya dengan rapi.

Diana tertegun. Dia mengangguk dan menatap tertarik. "Ingat, kenapa?" Tangannya buru-buru meletakkan dengan rapi semua bawaannya dan mengambil ponsel di saku.

Ora mengangkat dagunya. "Silakan rekam atau langsung diketik di ponsel, aku akan kasih outline berita. Ini ...," dia menaruh selembar surat kuasa. "Izin untuk aku buka urusan ini ke wartawan."

Diana memeriksa surat itu. "Sip, berarti enggak masalah, dong? Lanjut." Sigap, dia mulai merekam. Namun, keningnya berkerut saat mendadak sebuah panggilan masuk, dari nomor yang tidak dikenal. Dia menatap Ora dan meringis. "Sorry, Ra. Aku ambil sebentar, ya? Takut narasumber," katanya.

Ora mengangguk. "Jangan terlalu lama," pintanya. Dia melambai pada pelayan yang akan mencatat pesanan.

Diana menggeser tombol terima. "Pesen apa aja, gue traktir, Ra," katanya. Dia menempelkan ponsel ke telinga. "Bindo News, dengan Diana, wartawati.""

"Halo, Mbak Diana?" Suara pria di seberang terdengar seksi, membuat Diana langsung menelan ludah. Waduh, orangnya ganteng, enggak, ya?

"Betul. Siapa ini?" tanyanya.

"Ini Tyo. Bisa kita ketemu?"

Diana mengerjap. Tyo? Kenangan langsung mengalir dari masa delapan tahun lalu. Hatinya pun dipenuhi antusiasme seketika. "Mas Tyo? Tentu, kapan? Di mana?"

BERSAMBUNG

Ngingetin aja, yang pengen baca lebih cepet, kalian boleh ke Karyakarsa ya. Di sana udah sampe bab-bab terakhir loh.

Ada juga kok cerita yang eike taruh gratis di sana, tapi bocah dilarang baca. Oke?

Makasih banyak buat kalian yang masih baca, vote, dan komen juga. Kalian keren banget karena udah setia di sini meski banyak platform bertebaran dengan cerita gratis lain.

Stay safe, stay healthy, always care for everyone, especially, who are closed to you.

Winny
Tajurhalang Bogor 22 Juni 2022, publish ulang 23 Oktober 2022

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang