Diana membuka mata dan menatap ibunya yang menangis. "Bu, baju aku," keluhnya.

Marini mengangguk dan dengan hati-hati memakaikan pakaian padanya. Setelah itu dia merangkul putrinya sambil menangis, sampai kemudian Diana menjauhkannya sedikit.

"Bu ... kayaknya aku butuh hair extension. Rambutku ...," dia memegang rambutnya dan melihat darah dari luka di kulit kepalanya, menempel di tangannya. "Sialan, berdarah," gerutunya sebelum kemudian roboh dan pingsan.

******

"Mas Tyo tidak terluka?"

Suara Marini menggaung di telinganya, membuat Diana membuka mata dengan perlahan. Silau, sepertinya dia berada di rumah sakit karena bau obat yang keras langsung tercium begitu dia siuman. Ibunya sedang bertanya pada siapa?

"Saya tidak apa-apa, Bu. Bagaimana dengan Mbak Diana?" Sebuah suara yang enak didengar menyahuti pertanyaan ibunda Diana. Dia langsung mengerutkan kening. Suara siapa itu?

Terdengar helaan napas. "Diana terpukul, leher dan kepalanya luka. Orang-orang itu benar-benar menyiksa bukan hanya fisik, tapi juga mentalnya. Untung Mas Tyo datang tepat waktu, kalau tidak .... Entah apa yang mungkin terjadi pada putriku."

"Saya minta maaf tidak tiba lebih cepat. Seharusnya kalian tidak mengalami itu."

"Bukan salah Mas Tyo. Mas juga sedang berduka."

Diana mengerutkan kening. Dia menoleh dan tatapannya bertemu dengan sepasang mata tajam milik seorang petugas polisi yang masih muda, tampan, dan memiliki garis wajah sempurna layaknya model majalah pria. Sial! Kenapa dia masih bisa berpikir begitu di saat seperti ini? Tepat saat itu, sang petugas terlonjak di kursinya, menyadari kalau dia siuman.

"Mbak Diana sadar, Bu!" katanya, terlihat lega.

Marini menoleh dan langsung mendekati Diana. "Didi, kamu sudah sadar, Nak?"

Diana menatap ibunya yang seperti menua sepuluh tahun dalam semalam. Perlahan dia mengangkat tangannya dan mengusap pipi sang ibu. "Aku baik-baik aja, Bu," sahutnya. Dia mengalihkan pandangan pada petugas yang ikut berdiri dan mendekati ranjangnya. "Ini ...?"

"Ini Mas Tyo. Dia adik dari Mbak Tami, istri Pak Beni."

Diana mengerutkan keningnya. "Mbak Tami dan Pak Beni itu siapa?"

Ibunya terdiam sejenak. "Uhm ...."

"Mbak Tami dan Mas Beni adalah nara sumber dari berita yang sedang diliput Pak Aryo." Petugas bernama Tyo yang menjawab. "Mereka ...." Kalimatnya terhenti karena dia kesulitan.

"Mereka ikut tewas dalam kecelakaan yang menimpa Bapak, Di," sambung Marini.

Diana mengerjap lambat. "Oh ... saya ikut berduka, Mas," katanya, spontan.

Tyo mengangguk. "Saya juga, Mbak," balasnya.

Diana memejamkan matanya karena pening. Sekonyong-konyong kejadian di tempat persemayaman jenazah tadi siang melintas di benaknya. Bisik-bisik yang sempat dia dengar dari dua karyawan televisi tempat Aryo bekerja mengenai kematian beliau.

"Suami istri itu menyuap Pak Aryo. Malah, katanya mereka korupsi sama-sama."

"Oya?"

"Dan, mereka baru dari diskotik katanya. Di darahnya ada alkohol yang kadarnya tinggi banget."

Diana mengerutkan keningnya. Otaknya bekerja keras menyusun fakta yang baru saja didapatnya. Kalau suami istri yang dimaksud para penggosip itu adalah orang-orang yang tewas bersama ayahnya, dan ada alkohol berkadar tinggi dalam darah mereka, berarti, mereka adalah penyebab kematian ayahnya, kan?

Mendadak dia membuka mata dan menatap sosok Tyo yang masih berdiri di sebelah ibunya. Kebencian yang tidak masuk akal mendadak menguasai hatinya. Dia menatap Tyo dengan sorot mata menusuk, sebelum kemudian bicara dengan nada dingin.

"Terima kasih sudah menolong, tapi, bisa Anda pergi sekarang? Sebelum saya muntah karena muak melihat Anda?"

Tyo melongo, begitu juga Marini.

"Didi, kenapa kamu ngomong kasar begitu?" tegur Marini.

Diana mendengkus. "Kalau memang kakak dan kakak ipar orang ini tewas bareng Bapak, merekalah yang jadi penyebab kematian Bapak, Bu. Suruh dia pergi, aku enggak tahan ada di ruangan yang sama dengan anggota keluarga pembunuh bapakku!"

Bersambung.

Buat yang gak sabaran dan pengen baca lebih cepet, silakan ke Karyakarsa ya.

Makasih banyak buat kalian semua, jangan lupa, jaga kesehatan, kebersihan, dan selalu pedulikan sekeliling kalian ya.

Winny

Tajurhalang Bogor 17 Juni 2022, publish ulang 23 Oktober 2022

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now