Renjun mengangguk, tangannya ikut berada diatas buku dan mengenggam tangan Jeno yang menunjuk gambar. "Gue kira lewat usus besar dulu baru usus halus." Renjun menggerakkan tangan Jeno untuk menunjuk gambar yang ia maksud.

Jeno yang mendengar itu melepaskan tangan Renjun dan menatapnya aneh. "Jangan bercanda, sejak sekolah dasar pasti pernah diajarkan. Masa tidak tau."

Renjun tertawa, ia memang sengaja pura-pura tidak mengerti mana mungkin ia tidak tau tentang pelajaran segampang itu.

Ia duduk bersandar di kursi panjang yang sedang mereka duduki lalu merentangkan tangan di sandaran kursi sembari menikmati angin semilir menerbangkan helaian rambut yang menyejukkan di siang bolong.

Jeno menutup bukunya diatas lutut dan ikut bersandar, punggung belakangnya menyentuh lengan Renjun, sekalian saja pemuda Huang meletakkan tangannya di bahu Jeno.

"Terimakasih," ucap Jeno tiba-tiba. Renjun menoleh, menatapnya bingung dengan alis terangkat sambil menyunggingkan senyuman.

"Untuk apa?"

Jeno menggeleng, ikut tersenyum kecil. "Tidak tahu, tapi rasanya gue punya hutang budi sama Lo."

Renjun tertawa dan mengusak rambut belakang Jeno. "Lo kayak adek gue, kaku dan selalu berterimakasih. Gue kan bukan orang asing."

Renjun jadi termenung setelah mengucapkan itu, feromonnyapun terasa kecut. Jeno menyadari itu, ketika ia melihat Renjun, pria itu melakukan hal yang sama.

Mata Renjun yang berwarna hitam legam menatapnya dalam. "Gue harap Lo gak melakukan hal merugikan hanya karena kekurangan yang Lo miliki, meskipun mate Lo gak nerima hal itu. Jangan kayak adek gue."

Jeno tertegun mendengar perkataan Renjun, kesedihan terlihat begitu jelas dari pancaran matanya. "Masih ada orang yang sayang sama Lo, seperti keluarga Lo contohnya, dan---gue." Pria Huang tertawa setelah berkata itu, Jeno pun jadi ikutan tertawa, walau tidak menangkap makna tersembunyinya.

"Sebenarnya ..." Jeno menjeda perkataannya, ia nampak ragu. Tapi melihat kepedulian Renjun padanya membuat Jeno juga ingin terbuka menceritakan tentangnya. Ia sendiri bahkan dapat merasakan ke khawatiran pria itu.

Renjun bahkan menceritakan tentangnya, bahkan tentang adiknya yang telah meninggal karena bunuh diri. Adik Renjun memiliki kekurangan--tidak bisa mencium aroma feromon, lalu mate adiknya tidak bisa menerima kekurangan itu dan mereject. Renjun sedih melihat adiknya yang selalu kesakitan dan bersedih sepanjang waktu hingga pada akhirnya memutuskan mengakhiri hidupnya karena berputus asa dan tidak kuat lagi.

"Sebenarnya gue ... gue gak cacat."

Renjun menatap Jeno dengan mata bulatnya. Pemuda Lee tersenyum, ia mengeluarkan botol obat kecil dari kantong celananya. "Ini scent blocker dalam bentuk pil, sering gue konsumsi setiap waktu."

Renjun yang bersandar kini menegakkan tubuh sepenuhnya, ia mengambil alih botol itu dan membukanya. Obat itu tidak ada aroma dan berwarna biru, setahu Renjun scent blocker kebanyakan berbentuk deodorant. "Lo tahu'kan ini punya efek samping kalo di konsumsi."

Jeno tersenyum manis hingga matanya menyipit berbentuk bulan, lalu mengangguk. "Iya tahu. Tapi itu lebih efektif dari pada deodorant."

Renjun menghela nafas menatap obat ditangannya, ia beralih pada Jeno lalu tersenyum. "Jadi aroma apa?"

"Honeysuckle," ucap Jeno.

"Pengen cium," ujar Renjun yang mendapat gelengan dari Jeno.

"Baru diminum sejam yang lalu," ungkap Jeno.

[End] Unexpected - JaemjenDonde viven las historias. Descúbrelo ahora