A DECISION TO HAPPINESS

18 4 3
                                    

A DECISION TO HAPPINESS

"Pras gue pengen kita putus".

Praska mengernyitkan dahi mendengar ucapanku. 

"Mel?," tanyanya masih ragu atas apa yang baru dia dengar. 

Ya, Praska tidak salah dengar. Laki-laki yang sudah menemaniku selama 8 bulan ini tampak shock, dia memegang erat sudut meja menahan berbagai emosi yang sepertinya ingin keluar. Praska. Aku harus berpisah darinya sebelum lebih lama lagi.

"Iya, lo gak salah denger gue pengen kita pisah Pras, sampe sini aja," 

aku mengulangi pernyataan pahit yang harus diterima oleh Praska.

 "Tapi kenapa Mel?," Praska melepas genggamannya pada sudut meja, sedikit terinterupsi ketika pesanan kami diantar oleh pelayan.

Cafe ini adalah langganan kami. Kita suka disini, Sweetcafe. Seperti namanya tempat ini menyediakan minuman dan makanan yang manis, disini tidak terlalu ramai juga tidak terlalu lengang, cukup memberi kami ketenangan dan Privasi. Milkshake Strawberry adalah favorit Praska, hari ini pun dia memesan minuman yang sama, sedangkan aku memesan jus jeruk.

"Kayaknya lo bukan yang gue cari Pras. Gue butuh cowok yang punya prinsip dan tujuan hidup yang jelas. Menurut gue, berhubungan gak sekedar lo sayang gue dan gue sayang lo. Itu gak cukup. Sekarang gue tanya, apa cita-cita lo? Apa tujuan hidup lo? Dan apa yang pengen lo kejar Pras? Gue butuh laki-laki yang punya itu semua, dan berpegang padanya."

Sudah lama aku melatih kata-kata ku, untuk mengungkapkan semua yang selama ini mengganjal di hati. Dan sepertinya latihanku berhasil, semua terpapar dengan begitu lancar, berani, dan begitu menyakitkan.

Berbanding terbalik dengan minuman manis di atas meja yang dari tadi kami anggurkan. Rasa kecewa terpancar jelas di wajah Praska, 

"Lo mel. Lo cita-cita, tujuan, dan sesuatu yang bener-bener pengen gue kejar dalam hidup gue." 

Aku tersenyum miring,

 "Itu yang gak gue suka dari lo Pras, lo gak punya pendirian. Lo gak boleh menggantungkan kehidupan lo pada manusia lain. Diri lo ya diri lo. Lo harus punya jati diri sendiri. Gue? Gue bukan tujuan Pras. Umur lo udah berapa? Lo telat banget kalo baru memulai mencari jati diri sekarang."

"Sejak kapan lo mulai mikirin ini Mel? Gue pikir kita baik-baik aja," Praska meraih tanganku, air mukanya yang memohon sedikit membuatku gundah. Tapi keyakinan yang sudah kupikirkan matang-matang ini, tak akan kalah dengan rasa hiba. 

"Sejak gue mulai ngerti karakter lo Pras. Gue orang yang bener-bener yakin sama tujuan hidup gue. Gue pengen jadi dokter, masuk Fakultas kedokteran, dan sekarang gue jadi dokter. Gue beragama islam karna yakin akan itu, gue memegang itu dalam hidup gue. Gue punya idealisme gue sendiri, gue teguh dan berprinsip pada itu semua, mana yang gue anggap baik dan mana yang gue anggap buruk."

Pandangan Praska melebar, tidak menatapku, tidak jelas menatap apa. Fokusnya berubah-ubah, tapi tidak bisa juga dibilang kosong, sulit di deskripsikan. Sudah kepalang basah, aku meneruskan kalimatku, "Pras lo masuk ekonomi karna saran ortu lo kan? Lo kuliah disana tanpa jelas apa yang lo mau. Setelah lulus ditanya lo pengen kerja dimana lo cuma bilang, dimana kantor yang mau nerima lo aja, malah sekarang lo kerja di studio foto tempat temen lo. Pras, idup lo terlalu pasrah. Gak ada kerja keras, terlalu lurus, terlalu ngalir. Gue gak mau mengambil resiko menggantungkan hidup gue sama pria yang bahkan tidak tahu apa yang dia mau. Lo inget waktu gue keranjingan diet? Gue ikut fitness, dan lo ikut-ikutan daftar ditempat yang sama, cuma karna mau ketemu gue. Lo gak punya motivasi lain. Bahkan umur segede gini, lo masih gue ingetin solat Pras! Gue butuh tonggak yang kokoh Pras! Dan itu gak gue dapat dari lo."

DECISION TO HAPPINESSWhere stories live. Discover now