"Maafin mamah ya yang gak mampu mempertahankan kamu. Maafin mamah yang gak becus jaga kamu. Kamu pasti kesakitan banget sebelum meninggal. Kepala kamu pasti sakit ya Nak?" Tangis Audi tak mampu terbendung. Bahunya terguncang karena menahan isakan.

"Harusnya mamah lebih hati-hati. Kamu sekarang udah gak sakit kan? Udah bisa bobok nyenyak di dalam sana. Mamah belum sempat meluk kamu. Belum sempat gendong kamu. Maafin mamah.... maafin mamah."

Sebanyak apa pun tangis Audi yang jatuh ke tanah tak mungkin membuat anaknya bangun dari kubur. Audi cuma dapat berlutut lalu mengecupi papan nisan sederhana itu. Audi pamit setelah melantunkan beberapa doa. Ia meminta kepada Tuhan agar anaknya dijaga di alam sana dan diberi tempat yang terbaik di sisinya.

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

Bryan pulang dengan muka tak enak dilihat. Ia melihat tagihan kartu kredit Monika yang kelewatan. Wanita itu membeli dua set perhiasan yang terbuat dari berlian. Monika sudah memiliki perhiasan yang tak terhitung jumlahnya. Belum lagi koleksi tas buatan Prancis yang harganya mencapai ratusan juta. Perempuan itu tidak pernah puas dan selalu ingin pamer pada teman sosialitanya. Bagi Bryan tak apa jika Monika bisa mendatangkan keuntungan sepadan minimal membalas semua pemberiannya tapi sang istri sering meminta tanpa memberikan imbal baliknya.

Ponsel Bryan berbunyi, pesan dari Monika masuk. Sang istri pulang telat karena menghadiri pembukaan klub milik temannya. Inilah yang Bryan ragukan ketika ingin ke luar rumah dan tinggal di apartemen berdua saja. Bagaimana Monika dapat menjadi istri yang baik kalau sering pulang telat. Bryan terbiasa di layani bukan menunggu di rumah sendirian.

Kalau kesal seperti ini ia akan ke mini bar dan mengambil anggur koleksi ayahnya tapi ia keduluan seseorang.

"Audi kamu minum? " Ini adalah pemandangan langka

"Mau bergabung?" Dan ini pertama kalinya Audi tidak bersikap ketus. Wanita ini minum sebanyak apa.

"Boleh." Bryan mengambil tempat duduk setelah mengambil gelas. "Tak biasanya kau minum malah tidak pernah."

"Yah aku melanggar teritorial kan. Ini mini bar tempat kau biasa minum. Aku pergi." Tapi Bryan menahan lengannya agar tidak beranjak.

"Duduk, kita minum sama-sama. Aku tidak akan mengusirmu, kau boleh menggunakan tempat ini juga."

"Terima kasih," jawabnya datar lalu menuangkan minuman lagi.

"Aku berterima kasih karena hanya dirimu yang menemaniku hari ini," lanjut Audi disertai tatapan minta dikasihani. Bryan tahu Audi banyak menderita di rumah ini tapi ketika tangannya terangkat ingin membelai surau Audi. Bryan menahannya dengan mengepalkan tangan.

"Memangnya kenapa dengan hari ini? Kau juga meminta ijin pulang lebih awal?"

"Hari ini tepat 100 hari putriku meninggal. Tidak ada kan orang yang mengingatnya." Audi menarik nafas. Ia setengah kehilangan kesadaran hingga tak tanggap siapa yang ia ajak berbicara. "Dia di tempatkan di pemakaman umum, dengan nisan sederhana. Tapi tenang aku akan merenovasinya. Dia anggota keluargamu kan? Kenapa ia tidak di tempatkan di samping makam kakeknya, di pemakaman keluarga Brawijaya? "

Bryan tak mampu menjawab. Mamanya menganggap anak Audi hanya bagian percobaan yang gagal tanpa peduli bagaimana terlukanya Audi kehilangan anak itu.

"Kau mau dia di tempatkan di pemakaman keluarga? Aku dapat memindahkannya." Tawaran yang sangat murah hati dan Audi menggeleng sambil tersenyum masam.

"Anakku cuma punyaku. Lebih baik dia di tempat semula. Aku takut suatu hari aku akan dibuang keluargamu dan  malah tak bisa mengunjungi makamnya."

Bryan mengeraskan rahang tatkala ingat perkataan mamanya ketika di rumah sakit. Audi hanya sebuah alat bagi keluarga ini dan memang akan di singkirkan apabila tidak berguna. Brawijaya yang dulu maupun sekarang hanya mendatangkan kemalangan untuk wanita ini.

"Apa kau juga sesedih ini ketika keguguran dulu?"

Audi mengumbar senyum meremehkan, ia menempelkan gelasnya yang dingin pada dahi. "Aku lebih terluka. Aku kehilangannya karena kau dorong. Kau membunuhnya. Kau membunuhnya!" Perkataan itu jelas melukai Bryan sampai membuatnya menundukkan wajah.

"Aku minta maaf...." ada jeda lama. "Aku tidak pernah diajarkan minta maaf atau menundukkan kepala. Kau wanita pertama yang menerima ucapan itu. "

"Yah kau diajarkan jadi penguasa dan sombong tapi apa kau juga diajarkan menghancurkan hidup orang lain? Walau terlambat, aku menerima maafmu. Tapi aku berharap kau dihukum seberat-beratnya," jawab Audi enteng lalu minum. Sayang kali ini isi gelasnya habis.

Audi tak tahu saja kalau selama ini Bryan sudah dihukum. Ia tersiksa setiap hari melihat Audi tanpa bisa menyentuh bahkan memilikinya. Menerima Audi sebagai saudara. Hatinya bertahun-tahun sakit tapi ia selalu menutupinya dengan memasang wajah datar seolah tidak pernah terluka.

"Aku kehilangan anakku yang pertama karena ayahnya melukainya. Tidak menginginkannya. Untunglah anak itu sudah tidak ada tapi Candy lain. Dia anak yang ku nantikan. Setiap bulan ku periksakan ke dokter, aku punya suami, punya keluarga. Aku kehilangannya padahal sebentar lagi ia lahir. Candy meninggal seolah hilang dan tidak ada yang pernah mengingatnya, sama dengan anakku yang pertama."

Audi semakin meracau, setiap gelas alkohol yang masuk ke mulutnya maka makin hilang kendalinya atas mulutnya sendiri.

"Aku mengingatnya. Dia anakku yang pertama, " ucap Bryan tiba-tiba. "Aku yang membawamu ke rumah sakit waktu itu, menunggumu sebelum ibumu datang. Aku merasa kehilangannya walau tidak sedalam dirimu. Aku dulu bodoh, tidak bertanggung jawab, menuruti gengsi dan emosi sampai berbohong pada perasaanku sendiri. Aku benar-benar menginginkanmu menjadi kekasihku terlepas taruhan itu. "

Bryan mengungkapkan hal yang disimpannya lama. Ia meratapi rasa bersalahnya seumur hidup tanpa seorang pun tahu.

"Benarkah begitu?" Audi kemudian tersenyum masam. Ia menahan emosi sekaligus air matanya yang sudah berdesakan mau turun. "Kau jangan menghiburku dengan kata-kata manis. Walau menginginkanku, harusnya aku sadar bahwa Bryan sulit tergapai. Dia bagai bintang yang tak akan mau jatuh ke tanah. Itu salahku... semua salahku... aku yang terluka, aku yang dihukum." Audi meneguk ludah, ia tarik nafas sedalam-dalamnya. Selama ini ia yang menderita, menderita dalam kekurangan dan kemiskinan lalu dimanfaatkan orang.

"Jangan menangis Audi." Bryan menghapus air mata wanita ini dengan ibu jarinya. Ia membuat mata Audi hanya terpaku padanya.

"Dua kali aku kehilangan anakku. Sepertinya aku masuk ke dalam hamba Tuhan yang dilaknat hingga tak diberi kesempatan menimang salah satu anakku."

Bryan tahu Audi sangat terluka saat mengatakan ini. Wanita itu tersenyum lebar sembari menangis seolah pertanda bila sukanya tak terbendung lagi. Ia meraih kedua bahu Audi, mendekatkan tubuh keduanya lalu meletakkan kepala Audi dekat dengan jantungnya.

Bryan memeluknya dengan sangat erat. Memberikan tempat bagi wanita ini bersandar dan menumpahkan tangis. Tindakan yang harusnya dari dulu Bryan lakukan tapi baru terlaksana sekarang.

☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️

Kalau mau cepat ke KBM ya

my idiot boysWhere stories live. Discover now