day 2 -Keretakan

59 9 4
                                    

"Maris pulang."

Suara gaduh menyambut kedatangan Maris sesaat setelah ia membuka pintu. Tentu Maris sudah merasa kalau semua itu sudah menjadi rutinitas mereka. Dengan langkah malas Maris beranjak dari ruang tamu menuju kamarnya di lantai atas.

"Ingat mas! Cuma kamu yang bisa ngatur dia!"

"Terus kamu mau seenaknya ninggalin dia? Ras, dia itu anak kamu-"

Suara teriakkan di dalam kamar lantai satu, kamar kedua orangtuanya itu sudah bukan lagi hal asing. Sahutan demi sahutan, berlomba untuk menjadi orang yang paling lantang dan berharap dapat menundukkan lawan adalah isi pikiran Wira dan Laras, ayah dan bundanya Maris.

"Apa bedanya aku sama kamu hah? Aku pergi karna aku muak liat kamu yang sesuka hati siksa dia tanpa belas kasih! Karna itu juga dia lebih nurut sama kamu ketimbang aku!"

"CUKUP RAS! dia cuma butuh kasih sayang dari kita, gaada gunanya kita berantem kayak gini."

Walau tak terdengar, Maris yakin bahwa Laras tengah tersenyum meremehkan Wira. Sudah Maris bilang, hal ini bukanlah sebuah kejadian langka yang jarang terjadi, tentu Maris paham apa saja gerak-gerik setiap kali keduanya berdebat.

"Ya baguslah, ngapain juga aku abis abisin tenaga cuma buat berdebat sama kamu."

"LARAS!"

"APA?!"

"DIEM ATAU AKU HAJAR ANAK ITU SEKARANG JUGA?!"

"Aku ga butuh dia, bunuh aja sekalian."

BLAM.

Debuman pintu dapat Maris dengar walau ia berada di lantai 2. Bukan hanya itu, teriakan lantang kedua orangtuanya pun terdengar jelas di telinganya.

Setiap hari, setiap bundanya pulang, bukan sambutan hangat yang mengalun, bukan juga kecupan manis di kening yang didapat, melainkan ocehan panjang serta bentakan di depan mata.

Maris tahu, ayahnya tengah kesulitan perihal ekonomi keluarga. Bisnisnya bangkrut dan ia menghabiskan seluruh tabungannya pada sebuah investasi gadungan yang berujung penipuan. Dan kini hartanya habis tak bersisa.

Sementara itu bundanya lah yang bekerja banting tulang untuk menghidupi keluarganya. Ia mendedikasikan dirinya pada pekerjaan hingga menjadi seorang workaholic yang gila harta. Sifatnya perlahan berubah. Ia menjadi lebih sering lembur dan lebih sensitif ketika berada di rumah.

Meski demikian, ayahnya menganggap hal itu wajar dan tidak pernah menegurnya. Sebaliknya, ia yang frustasi karna lamaran kerjanya tidak pernah diterima pun sama sensitifnya dan sering meluapkan emosinya pada Maris, bocah 9 tahun yang masih penasaran pada dunia luar dan membutuhkan bimbingan kedua orangtuanya.

Perlahan, semuanya berubah. 2 tahun sudah Maris lewati dengan diam. Pukulan demi pukulan, tamparan demi tamparan, makian demi makian semua Maris telan. Hanya perihal ia yang melenceng sedikit dari apa yang ayahnya harapkan. Pertengkaran hebat kedua orangtuanya pun Maris berusaha pandangi dalam diam. Tanpa emosi dan tanpa ekspresi.

Lagi lagi Maris paham, hidupnya memang tidak pernah diharapkan, terlebih setelah masalah bertubi-tubi mengguncang keluarganya. Maris sadar diri, hidupnya ini hanyalah beban. Jadi yang perlu Maris lakukan adalah patuh pada apa yang ayahnya ucapkan, tanpa meleset sedikitpun.

Dan kini, 6 tahun telah berlalu. Maris telah beranjak dewasa dan berubah menjadi remaja yang dingin dan kelam selayak awan kelabu yang penuh menyelimuti. Maris tentu sudah kebal akan segala perilaku kedua orangtuanya. Bagaimanapun, sikap defensif nya dulu telah ia jadikan tameng dan tidak akan pernah ada yang bisa melewatinya.

Catastrophe Where stories live. Discover now