Hai, Kamu

9 1 0
                                    


Oleh : Gotham Pane

“Mungkin bertemu dengan kamu adalah salah satu deretan impian itu.” – Gotham Pane –

Terbangun oleh suara adzan yang memang sudah gue setting di ponsel pintar. Bergegas menunaikan kewajiban sebagai ummat muslim. Tentunya lima teman gue banguni, bagaimana pun mereka juga gak boleh mangkir dari kewajiban mendirikan salat wajib lima waktu.

Mon maap, gue sih memang bukan gadis yang alim atau ahli agama, namun hanya seorang anak muda yang tak mau meninggalkan kewajiban dan ingin selalu menjalankan perintah-NYA. Kata nyokap gue, boleh melalang buana kemana pun yang gue suka, namun jangan pernah lupa mau pun meninggalkan salat.

Itu sisi positif gue, walau masih suka gesrek dan cenderung bukan gadis polos baik-baik amat, hahaha.

“Ziv, udah masak tuh air,” ucap Yayan mengintrupsi kedamaian gue yang sedang menikmati alam menyongsong sang fajar.

“Eh,” celetuk gue dan segera beranjak dari tempat berdiri menikmati semesta nan indah.

Menyeduh kopi bersama semesta adalah bagian yang paling gue sukai. Tampak rona bahagia lima teman gue bersama secangkir kopi panas.

Usai menikmati semesta meski hanya sejenak, kami pun segera bergegas untuk melanjutkan tujuan. Puncak adalah tujuan utama, meninggalkan tenda dan beberapa barang. Tampak pula rombongan pendaki lain menuju puncak sebelum sang mentari menyapa bumi.

“Kalau tiap akhir pekan kayak gini, seru juga ya,” ucap Ali sembari sumringah melangkah.

“Iya, seru banget tuh,” imbuh Emil semangatnya luar biasa.

“Lo tanya aja nih si Ziva, mau apa kagak dia,” ucap Yayan sembari melirik gue yang berjalan santai di sampingnya.

“Gimana Ziv?” tanya Bimo.

“Lah kok gue?” tanya gue balik sembari nyengir.

“Lah iya, kan elo Ziv ketua PKKnya,” ucap Anton terkekeh.

“Lo kira ibu-ibu PKK apa bro,” celetuk Ali disambut gelak tawa kami.

Dalam perjalanan menuju puncak, tampak rombongan pendaki lain. Gue paling suka melihat kondisi keramaian seperti ini, bertemu dengan banyak orang dari berbagai karakter, berbagai daerah.

Saat merasa lelah, kami tak segan untuk saling mengingatkan istirahat sejenak. Sembari menikmati perjalanan pagi ini menuju puncak. Sudah semakin dekat rasanya dari puncak, gue jadi tak sabar untuk melangkah.

Puncak…

Ya gue berada di puncak! Saling merangkul bersama lima teman seperjalanan. Rona bahagia tampak dari kami semua, bergantian mengabadikan momen indah ini. Sebuah tanda kami pernah bersama ke puncak Merapi.

Saat kami hendak berfoto berenam, seseorang menawarkan diri ingin mengabadikan momen kami berenam. Sontak gue kaget, dia sepertinya cowok tadi malam yang mengusik ketenangan menikmati bintang-bintang indah di langit nan gelap.

“Mau saya bantu?” ucapnya yang kami belum tahu dia siapa.

Yayan dengan senyum sumringah menyerahkan kamera kerennya.

“Mohon bantuannya ya Mas.”
Gue cengok sesaat, setelah itu kembali ke mode tersenyum. Entah bagaimana situasi senyum gue, yang pasti tersenyum menatap kamera.

Entah sudah berapa kali ia memotret kami dengan berbagai gaya. Bahkan, gue di sudah berada di gendongan lima teman gue. Kocak memang idenya Bimo, katanya antimainstream.

“Ziv, sini loh kita gendong, antimainstream.”

Sontak yang lain pun menyetujui ide gilanya. Gue sempat kaget, namun setelah itu malah sumringah.

Tampak cowok itu tersenyum ke arah gue sembari geleng-geleng kepala.

Usai sesi foto-foto, kami menikmati sejenak suasana puncak. Mumpung mentari belum terlalu terik. Gue dengar Yayan banyak ngobrol sama cowok itu, entah inisiatif dari mana atau hanya basa basi lambe Yayan memperkenalkan cowok itu ke kami satu per satu.

Saatnya ia menyodorkan tangannya ke gue, mata gue mengerjap menyadari dia tepat di depan gue dan gue orang terakhir yang dikenalkan Yayan.

“Hai, kamu.”
Sapaanya menarik atensi gue pada senyum renyahnya, ini orang demen amat senyum yak. Tapi bagus deh doi suka senyum, biar tak kayak cowok-cowok dingin di novel-novel yang sering gue baca.

“Zafran.”

“Ziva.”

Sontak gue dan tampak pula dia seperti kaget, jika gue merasa semesta sedang bercanda, mempertemukan dengan seorang yang yang memiliki nama awal dengan huruf sama. Gue terkekeh mengundang ia menaikkan alisnya, seakan ingin bertanya, ada yang salah?

“Kenapa?” tanya Zafran dengan tangan masih saling menggenggam bersalaman.
Menyadari hal itu, gue yang terlebih dahulu melepaskan salaman yang entah dari mana jantung gue jadi deg-degan parah. Berharap dia tak menyadari hal itu, parah ini jantung ngapain juga sampai deg-degan begini.

“Eh, gak apa,” jawab gue kikuk.

Tingkah kami tak luput dari sorak-sorakan lima teman gue dengan kurang ajarnya mereka bilang, “Cie,,, cie Ziva.”
Kan gak bener!

“Apaan sih lo pada!” sembur gue pada lima teman yang hanya ditanggapi mereka dengan kekehan.
Sementara Zafran masih setia tersenyum renyah.

“Lanjut kita?” tanya Bimo mengakhiri pembullyan, bersyukur banget gue Bimo membuka suara, thank’s a lot Bim.

“Maksud lo lanjut kemana?” tanya Emil.

Semesta bersama ZivaWhere stories live. Discover now