Caramel - 3

Mulai dari awal
                                    

“Lah bodo amat bukan urusan gua. Ngapain lu cerita-cerita ke gue.”

“Ah males gua ngomong sama elu—udah yak gua mau tidur dadah.”

Kemudian Kika off—dia temen apa bukan sih ahelah! Lagi curhat malah off.

Terus aku harus cerita ke siapa?

###

Aku dan Kika makan mie ayam kesukaan kami di kantin sekolah pada jam istirahat. Kemudian Rafa dan segerombolannya masuk dan sudah pastinya semua mata memandang ke arah nya. Yang di pandang hanya jalan cuek tanpa sedikit pun merasa terusik di tatap oleh khayalak orang.

Aku sebenarnya bingung—orang ngeselin kaya Rafa kok cewek-cewek pada mau-mau an ya sama dia? Karena cakep doang? Yaelah di pasar cowok cakep banyak kok, tinggal pilih aja.

“Mel, mel, lo harus tau di belakang lo ada siapa!” Kika menggoyang-goyangkan tangan kananku yang sedang menyentuh sedotan.

“Siapa?”

“Bagi nomor sama pin lo cepet.”

Suara laki-laki! Siapa?

“Cepet gue ga punya banyak waktu nih.”

Rafa!

“Belagu banget lo gapunya banyak waktu palalo peyang!” seakan sadar bahwa yang berbicara denganku sekarang adalah Rafa, aku merasa naik darah.

“Elah lama.” keberuntungan ada di pihak Rafa. Ponselku yang tergeletak di samping mangkok mie ayam di ambil oleh tangannya.

“Balikin hp guee!” aku mencoba-mencoba mengambil ponselku yang berada di tangannya.

“Diem.” dan dengan gampangnya dia menyingkirkan tanganku. “Nih—nomor lo udah gue save di kontak gue—kita juga udah temenan di bbm. Tenang aja, kalo gue gabisa belajar gue bakal ngabarin lo biar lo ga marah-marah lagi.” setelah berbicara seperti itu ia langsung berbalik pergi dan menuju ke lapangan bersama teman-temannya.

Sedikit pertikaian antara aku dan Rafa tadi sukses menarik perhatian seisi kantin. Kebanyakan para wanita menatap iri dan sinis padaku. Ya jelaslah! Siapa coba yang tidak mau di kasih nomor Rafa dan pin-nya secara Cuma-Cuma oleh Rafa sendiri? Aku hanya merengut kesal dan tak memedulikan sekitar.

“Care juga dia sama lo.” Kika nyeletuk sembari menyantap mie ayamnya.

“Maksud lo?”

“Berarti dia tau kalo lo lagi marah sama dia.”

“Ya iyalah orang gua bilang ke dia waktu marah.”

“Apansih ga nyambung.”

Bel pulang sekolah berbunyi nyaring sekali—yang mendengarnya pasti senang sekali karena sekarang waktunya bersantai dan tidur-tiduran ayam dirumah. Namun tidak untukku—aku kan harus mengajar Rafa.

“Duluan ya Caramel bawel.” Kika pamit pulang.

“Bacot, sono lo pulang.”

“Galak amat—gadapet jodoh baru tau rasa lu! Hahaha.”

“Bodo.”

Aku menunggu Rafa—

5 menit—

10 menit—

Awas aja kalo dia ga—

Rafa datang dengan sebagian bajunya basah oleh keringat.

“Gue gamau ngajar orang yang keringetan sumpah—mandi dulu sana lu ah.” sebelum Rafa duduk tepat di sampingku aku sudah mencerocos memperingatkan.

“Ga bau ini.” dia melempar tasnya ke atas meja dan duduk di sampingku.

“Lagian emangnya tadi di kelas lo ga ada gurunya apa? Maen basket sampe jam segini.”

“Ada ga ada guru sama aja kali.”

“Terserah lo—gue sih Cuma ngingetin aja sih—“

“Ga marah-marah lagi? Tumben bilangnya ngingetin.”

“HEH!”

“Iya maap lanjut.”

“Lo kan cowok—cowok tuh kerjanya nyari nafkah otomatis dia harus kerja, harus sukses, kalo dari SMA lo udah males-malesan gini gimana nanti? Lo mau kerja apa? Iya sih gue tau lo orang kaya tapi kan ga selamanya kekayaan itu bakal ada buat lo. Anak istri lo mau di kasih apa? Emang ada cewek yang mau sama lo gitu? Hari ini juga ga modal tampang doang kali.”

“Secara ga langsung lo bilang gue cakep dong ya.” kata Rafa tiba-tiba.

“Ngga!”

“Ngga salah lagi.”

Tolong. Gue. Mau. Pulang. Sekarang.

Caramel [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang