"Jadi Lo ngajak kita kemari gak punya planning dulu" Ryujin nyengir kuda sambil ngegaruk kepalanya yang gak gatal.

"Lo beliin boneka kek atau tas, sepatu atau apalah gitu" saran Ruby. Ryujin berpikir sejenak.

"Hmm, Gue beliin sepatu aja bagus kayaknya sih"

"Yaudah tunggu apalagi ayo kita beli" Ruby narik tangan mereka lagi.

"Harus ekstra sabar kita ngajak dia keluar Ji" ucap Ryujin dibalas anggukan oleh Yeji. Ruby orangnya mah emang gak sabaran.

Baru beberapa langkah mereka keluar dari mall tiba-tiba Ruby mencengkram lengan Ryujin yang berada disebelahnya dengan kuat membuat sang empu tersentak kesakitan.

Mereka melihat Ruby membungkuk menahan sakit. Wajahnya pucat dan lemas dengan napasnya yang tersenggal-senggal.

"Ruby lo kenapa jangan bikin kita khawatir" ujar Yeji panik memegang lengan Ruby yang kehilangan keseimbangan.

Belum sempat ia menjawab, Ruby sudah pingsan dipelukan Ryujin. Kedua gadis itu membawa tubuh lemas Ruby ke rumah sakit dengan Ryujin yang sudah menangis.

"Cepetan Ji" suruh Ryujin dari bangku belakang.

"Pake macet segala lagi" kesal Yeji memukul stir mobil. Ia menyugar kasar rambutnya dan menengok kebelakang, dimana muka Ruby sudah sangat pucat.

"Gue mohon bertahan by" tangis Ryujin membelai pipi tirus itu.

Tubuh lemah Ruby dibaringkan diatas brankar rumah sakit diiringi beberapa perawat yang mendorong brankar tersebut menuju UGD.

Yeji dan Ryujin yang hendak menelpon Jennie tidak jadi saat melihat pintu putih tersebut terbuka.

"Dengan keluarga pasien" tanya wanita dengan jas putih itu.

Mereka mengangguk "kita temannya dok, teman kita gapapa kan?" Tanya Yeji.

"Kondisi teman kalian jauh dari kata baik. Dia mengidap leukimia akut dan itu sudah masuk stadium akhir" Yeji dan Ryujin menganga dan memundurkan langkahnya.

"Apa dia memiliki peluang untuk sembuh dok" dokter itu menggeleng.

"Kankernya sudah masuk tahap akhir dan tidak ada lagi harapan untuk sembuh. Dia masih bisa tetap hidup dengan menjalani kemoterapi sepanjang hidupnya tapi itu sama saja dengan menyiksanya" kedua gadis itu tak dapat lagi membendung air matanya mendengar penjelasan dari dokter tentang kondisi Ruby yang jauh dari kata baik.

"Boleh kami menjenguknya" izin Ryujin dijawab anggukan oleh dokter tersebut.

Saat memasuki ruangan Ruby pemandangan pertama yang mereka lihat adalah sahabatnya sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. banyak selang yang menempel pada tubuhnya membuat mereka memilih membuang muka ke arah lain.

"Seharusnya kau bilang padaku jika kau sedang sakit" ucap Ryujin memegang tangan kurus Ruby.

"Aku tidak bisa melihatmu terbaring lemah seperti ini by. Aku tak sanggup" Ryujin menunduk. menyembunyikan air matanya.

"Yeji-ah, eottoke? Aku tidak ingin kehilangannya" tanya Ryujin menatap Yeji dengan wajah basahnya. Yeji melamun menatap Ruby.

"Aku juga tidak ingin kehilangannya Ryu" setetes air mata lolos dari matanya namun dengan cepat ia menghapusnya.

"Ruby bangunlah, buka matamu" yang diajak berbicara tak menyahut. Mata indah itu masih setia menutup seolah enggan untuk terjaga dari mimpi indahnya.

Namun beberapa menit kemudian Ryujin merasakan tangan yang ia genggam perlahan bergerak membalas genggamannya.

Ruby membuka matanya perlahan dan melihat kedua sahabatnya menangis dengan wajah sembabnya.

"Gue ada dimana" tanyanya bingung menatap langit-langit rumah sakit.

"di rumah sakit, Ruby" jawab Yeji.

"Ah iya. Gue tadi pingsan di jalan tapi gue gak apa-apa. Sebaiknya kita pulang saja gue takut kakak gue bakal nyariin gue nanti" Ryujin dengan cepat menahan tangan Ruby yang hendak mencabut infus dan selang yang hinggap di dadanya.

"Lo sakit parah by. Leukimia akut Lo memilikinya dan itu sudah masuk stadium akhir" ujar Yeji membuat jantung Ruby berdegup kencang.

"Lo ngomong apa sih Ji gue gak mungkin memiliki penyakit mematikan seperti itu" sangkalnya belum bisa menerima kenyataan.

"Tapi memang itu kenyataanya by. Dokter sendiri yang bilang ke kita" Ryujin menyerahkan sebuah amplop berlogo rumah sakit ke tangan Ruby. Di dalamnya berisi surat tentang kondisinya. Tangan Ruby bergetar memegang surat itu, air matanya menetes mengenai surat itu saat membacanya.

"Lo harus bilangin ini ke kakak kakak Lo by" Ruby menggeleng cepat.

"Gak. Gue gak mau mereka khawatir terlebih Jennie Unnie. Gue gak mau kondisinya drop karena dengar berita ini. Setelah dia sembuh baru gue omongin ini ke mereka" mereka menghela napas kasar. Ruby lebih mementingkan kondisi kakaknya dibandingkan dirinya sendiri yang sedang berada diambang Kematian.

"Tapi kondisi Lo juga jauh dari kata baik by. Kita gak mau kehilangan Lo"

"Kalian tenang saja. Aku akan bertahan sebisa mungkin untuk tetap hidup" yakin Ruby menatap mata mereka satu-satu.





TBC

My Dear Sister ✓Where stories live. Discover now