"Wah, Kanaya pinter banget masaknya!"

"Panggil Yaya aja, Shiel. Itu kepanjangan."

"Yaudah, panggil gue begitu juga, ya! Kepanjangan juga!"

Saat itu, di hari pertama aku masuk ke klub memasak, kali pertama aku ikut extrakulikuler di kelas satu SMP ini, aku bertemu dengan teman sepantaranku yang sama sukanya dengan hal memasak.

Namanya Shielda, dari keluarga Rajendra, yang kebetulan pendiri langsung dari sekolah besar ini.

"Yaya, gue pulang dulu, ya, kakak gue udah jemput!"

Aku mengangguk tanpa menoleh padanya karena sedang sibuk dengan percobaan biskuitku untuk yang ke-37 ini.

"Hati-hati!"

Aku dapat mendengar suara tegas dari luar ruangan, kemudian itu disambut dengan Shielda yang mendecakkan lidahnya.

"Semangat buat biskuitnya, ya! Jangan ditambah bawang lagi, lho!" pesan Shielda, "Dadah!"

Aku menghela napas, lalu kembali menoleh pada resep yang diberikan oleh Shielda.

"Masukkan perasa pandan, lalu aduk kembali hingga merata." Iris coklatku bergulir ke arah meja yang ada di belakang, mencari perasa pandan, namun tidak ada.

Aku menghela napas, "Males banget balik ke penyimpanan. Mana udah hampir ashar." lirihku dengan menoleh pada jam dinding.

Mataku tak sengaja melirik daun bawang yang tak jauh dari tempatku, aku meletakkan tangan kanan di daguku, membentuk pose berpikir.

"Ganti daun bawang aja apa? Tapi kata Shiel, gak boleh tambah bawang lagi."

Aku meraih daun bawang itu, lalu menatapnya dengan lekat.

"Pake aja, deh. Biar Dara aja yang jadi percobaan nanti."

Saat aku hendak memotong daun bawang yang kuambil, seseorang menahan tanganku. Itu membuatku heran dan menoleh pada si pemilik tangan.

Aku terhentak, "Shiel? Ngapain masih di sini?"

Aku cukup terkejut, di hadapanku terdapat Shielda dengan wajah datarnya. Atau mungkin.. bukan Shielda? Tetapi, wajahnya sangat mirip. Terlebih lagi dengan tanda bulat di bawah matanya.

Shielda menatapku dengan tajam, "Apa gue terlihat seperti perempuan?"

"Tapi.. wajah--"

"Gue kembarannya, Shiel gak pernah ngomong?"

Spontan aku menggeleng, membuatnya mendengus kesal dan lalu menarik kembali tangannya.

"Jangan pake daun bawang, lo pikir bisa seenaknya diganti gitu?"

"Eh, bukannya sama-sama daun, ya?"

"Bego, lo balik aja ke kelas empat sana!"

Hatiku sedikit sakit mendengar cemoohnya. Namun, aku sedikit senang ketika ia memberikan sebuah botol perasa pandan padaku.

"Pake itu."

Dia perlahan ingin pergi, tapi aku langsung mencegahnya.

EnchantedWhere stories live. Discover now