12. Chapter Dua Belas

42.1K 7.3K 285
                                    

Aroon menyibak tirai kamarnya. Keluar kamar menuju balkon. Menghirup udara Ibu Kota malam ini, pikiranya kembali tertuju pada pak Ilham. Aroon kira cerita seperti itu hanya bisa ditemukan di sinetron. Tapi ternyata tidak, kejadian semacam itu memang ada.

Mengingat pak Ilham, Aroon jadi teringat papanya. Sedang apa beliau di sana. Merogoh ponselnya pria itu menekan tombol telepon. Menunggu beberapa kali, namun sambungan tak juga diangkat.

Pada panggilan ketiga, sambungan baru tersambung. Mata Aroon berbinar, Aroon sangat rindu pada papanya. Mungkin malam ini Aroon akan bercerita panjang pada pria paruh baya di seberang sana.

"Halo, pah--"

"Halo, Aroon. Papah sedang sibuk, nanti papah telepon lagi ya."

Sambungan langsung dimatikan. Aroon mengulas senyum, mencebikkan bibirnya pelan.

Nggak apa-apa, Roon. Papah lo lagi kerja, batinya berusaha menguatkan diri sendiri.

Pria berambut pirang itu menghembuskan napas pelan. Wajah yang basah oleh air wudhu itu perlahan mengering seakan hembusan angin malam yang menerpa wajahnya. Aroon duduk di salah satu kursi yang ada di balkon. Membuka Al-Qur'an pemberian Zein lalu mulai menghafal kembali.

Lama menghafal dengan mulut komat-kamit dan dengan mata yang kadang terbuka dan kadang tertutup. Berulang kali mengacak rambutnya frustasi, dan sesekali berdecak karena hafalannya tak segera Aroon ingat.

Aroon menempelkan Al-Qur'an yang terbuka itu ke wajahnya. Menggigit bibirnya gemas, "Arghh, susah banget, Ya Allah."

"Ini gimana sih, Ya Allah."

"Tolong dipermudah, Ya Allah," Aroon bergumam frustasi.

Mencoba menghembuskan napas sebentar, "Bismillahirrahmanirrahim." Ucapnya lalu kembali membuka musaf yang tadi sempat ia tutup.

Entah kebetulan atau apa, mata Aroon langsung tertuju pada terjemahan surah Al-Insyirah ayat 5 yang berbunyi, Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.'

Mata pria itu menunduk, membaca terjemahan berikutnya di ayat ke 6. 'Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.'

Aroon mengernyit ketika di samping terjemahan itu tertempel sebuah sticky notes yang dilipat. Aroon membuka lipatan sticky notes tadi, begini isinya:

'Jangan mengeluh Zein, mengeluh hanya akan membuat kita lupa pada ketetapan Allah. Mengeluh hanya akan membuat kita lelah. Sungguh pada setiap kesulitan itu ada kemudahan.'

Aroon tertegun, rasa frustasinya seakan langsung hilang. Pria itu tersenyum simpul kembali melanjutkan hafalanya.

"Bismillah, Ya Allah," ucapnya sebelum mulut itu kembali berkomat kamit.

"Bismillah, Ya Allah," ucapnya sebelum mulut itu kembali bergerak untuk melantunkan bacaan ayat suci.

***

Aroon membuka mata ketika alarm ponselnya berbunyi, Aroon mendengus pelan. Menjauhkan ponsel tadi dari jangkauannya agar tidak mengusik tidurnya. Pria berambut pirang itu baru tidur pukul satu karena sibuk menghafal juz tiga puluh. Itupun Aroon belum selesai.

Mencoba mencari posisi ternyaman, menutup telinga dengan bantal. Namun, suara alarm tidak juga berhenti. Berdecak pelan, pria itu kemudian mengubah posisinya menjadi duduk, mengacak rambutnya kesal.

Aroon meraih ponselnya, pukul 3 pagi. Sebenarnya Aroon sendiri yang memasang alarm itu agar dirinya bisa bangun untuk shalat tahajud. Menyibak selimut pelan, berjalan ke arah kamar mandi yang berada di kamarnya.

Dalam Setiap Lafal (TERBIT)Where stories live. Discover now