☁️26: Di Balik Kita☁️

Start from the beginning
                                    

Sungguh. Aku berani sumpah. Itu sama sekali bukan gestur yang sengaja ingin kuperlihatkan. Bahkan aku juga tertegun untuk sesaat.

Aku marah pada Awan. Aku menyalahkannya atas setiap jengkal kehancuranku. Tapi aku tidak kemari untuk meneriakinya sebagai penjahat.

Hanya saja, ketika Awan berada dalam radarku, tiba-tiba perasaan kalut meriak dari dasar perutku sampai aku merasa mual. Aku agak kesulitan mengendalikan diri dengan semua perasaan tidak nyaman yang berebut menyerbu itu. Sekalipun sudah kukatakan aku tidak punya maksud untuk menyudutkan Awan, tetap saja aku tidak dapat mencegah saat kedua tanganku semakin mengerat berusaha menenangkan badanku yang belum berhenti gemetar.

Rasanya, yang harus kuhadapi hari ini terlalu banyak. Sementara kesiapanku terlalu sedikit.

Tapi ternyata memang ada orang seperti aku. Yang tidak beranjak dari kekacauan di hadapannya. Padahal aku punya seribu alasan untuk berubah pikiran. Padahal aku punya tempat untuk lari. Tapi aku memilih satu pertaruhan konyol lagi.

"Bintang, makasih... tadinya gue bingung banget harus gimana untuk nemuin lo..." Awan meraup wajahnya emosional, "Boleh bicara baik-baik soal kita, Bi?"

"Jangan salah paham!" aku menyela, tidak terlalu suka mendengar kata 'kita' dalam kalimat Awan.

"Yang ingin gue bahas bukan soal kita." Tekanku menggunakan nada pula wajah yang tidak bersahabat.

"Iya, Bi. Maaf. Gue tahu lo nggak nyaman. Silahkan kalau lo mau marah. Lo memang harus marah karena gue memang brengsek. Tapi paling enggak jangan bikin gue merasa lebih buruk karena biarin lo kesengat matahari begitu."

Awan membalas tanpa perlawanan. Tapi aku tidak mau melunak hanya karena ia menampilkan versi terlemahnya.

"Gue nggak apa-apa."

"Kita ngobrol ditempat yang lebih teduh ya, Bi?"

"Disini aja."

"Kalau begitu lo masuk mobil dulu. Panas banget lo bisa pingsan."

"Awan-"

"Lo masuk mobil. Gue pindah keluar."

Aku mengatupkan bibir. Bukan berarti aku tidak punya hasrat untuk menyentak Awan supaya ia berhenti memperdebatkan hal tidak penting seperti ini, hanya saja pandanganku yang sempat hitam sekejap bukan pertanda baik. Sialan, cuaca benar-benar tidak mendukung tingkah sok kuatku.

"Bintang, gue mohon..."

"Fine! Gue disini, lo nggak perlu turun."
Daripada memaksa dan ujungnya aku malah tumbang dengan konyol, kuputuskan membuka pintu belakang lantas duduk layaknya seorang penumpang.

Kemudian, Awan dan aku malah saling diam. Sama-sama bingung darimana harus memulai. Lalu aku teringat Kak Ge, yang bisa jadi sudah mulai mencariku kemana-mana karena sadar aku pergi terlalu lama. Jadi aku berdehem dari balik punggung Awan, sebagai kode untuk memancing inisiatifnya. Pembicaraan ini harus tuntas sebelum Kak Ge memergoki kami. Karena jika itu terjadi, aku tidak yakin jeritan bahkan tangisanku bakal berhasil menyurutkan emosinya seperti tadi.

"Gue khawatir setengah mati sama lo, Bi."

"Gue benci sama lo, Wan. Dan gue masih nggak tahu harus gimana buat meredakan itu."

Kalau tidak salah ingat, beberapa saat yang lalu aku bersikukuh jika pembicaraan yang kuinginkan bukanlah tentang kami. Tapi, lantas yang kubahas malah perasaanku sendiri. Entah itikad macam apa yang sebenarnya aku cari. Aku hanya tidak bisa aku tidak geram memikirkan betapa pengecutnya Awan. Kalau Awan betul mengkhawatirkanku, kenapa baru hari ini ia menampakkan batang hidungnya?

Di Balik AwanWhere stories live. Discover now