O. Prolog

157 21 0
                                    

Jangan pernah lupa untuk mengapresiasi apa pun yang kamu nikmati.

[Ameliorate Bond ©2022]
with love, langitserulian

Kendati mereka memang sudah lama tak lagi pernah bersua. Namun masih membekas di ingatan masing-masing bagaimana pertalian di antara keduanya itu sejak hari terakhir pertemuan mereka, tepatnya di acara A Day to Remember yang diadakan oleh sekolah untuk melepas angkatan mereka yang telah ditetapkan sebagai alumnus.

Alih-alih di acara lepas-kenang itu akan meninggalkan sesuatu yang berkesan baik, justru masalah di antara mereka tidak lekas juga membaik. Keduanya tetap berada pada situasi canggung dan sengit; perang dingin kalau rekan-rekan seangkatan menyebutnya.

Beruntung semenjak hari itu, mereka tak pernah lagi bertemu, sekadar bertatapan dari jauh sembari mengacungkan jari tengah dan saling melontar sindirian serta makian pun tak pernah lagi. Setidaknya hal kekanakan itu tidak akan terjadi setelah 12 tahun terlintasi. Yakin saja bahwa keduanya mungkin sudah tumbuh menjadi dua pria yang tak hanya secara fisik, namun pemikiran pun ikut bertumbuh lebih dewasa.

Ya, semoga saja, 'kan?

"Serasa pernah melihatmu. Jika tidak salah, kau ini ...." Senyuman miring, mata menyipit sinis sarat meremehkan sang lawan bicara, "... Song Mingi, anak aneh yang selalu main dengan anak-anak perempuan. Kupikir kau akan jadi pengangguran, ternyata orang urakan sepertimu mampu juga untuk melanjut."

"Lucu saja bagaimana seorang aristokrat sepertimu dapat berkata seperti itu. Seseorang pernah berkata bahwa 'ucapan mewakili kualitas diri' dan milikmu tadi terdengar tak sekelas dengan statusmu. Sangat rendah." Pun, dibalas dengan sunggingan yang tak kalah merendahkan.

Lantas setelah usainya perbincangan sarkasme singkat di atas anak tangga tersebut, keduanya memutuskan untuk menerbitkan kembali perang dingin babak kedua setelah 12 tahun lamanya dibenam oleh jarak.

"Entah kebetulan atau takdir, sepertinya kita selalu dipertemukan. Mungkinkah Dewi Nasib begitu senang jika kita bertemu?"

Pun, mereka mulai sering berpapasan di beberapa kesempatan dan situasi yang kurang kondusif untuk tak memulai percakapan sengit.

"Kupikir Dewi Nasib senang melihatku makan getah saat bertemu denganmu, Jung Yunho-ssi." Begitu tanggapan yang terdengar bersahabat namun semakin sengit di beberapa suku kata terakhir.

Pun, kekehan yang penuh pretensi itu tak pernah lepas dari salah seorang ketika berusaha saling melempar kalimat sarkastis untuk menguji intelektual satu sama lain demi mempertahankan tingginya benteng martabat dan pilar gengsi masing-masing.

"Kuharap, kau akan makan getah dariku selamanya, Mingi-ssi."

"Jangan bermimpi. Oh, semoga persidangan nanti berjalan baik untuk pihakmu, Yunho-ssi. Aku berharap itu." Ekspresinya ramah. Dia bahkan menepuk tenang pundak pria di hadapannya itu. "Tetapi kurasa, perusahaanmu harus merelakan sejumlah uang ganti rugi kepada klienku."

Sang lawan hanya tersenyum angkuh sembari berdecih remeh, "Kau berbicara seolah kau pasti menang kali ini."

"Kita lihat saja, di manakah Dewi Nasib akan berpihak untuk hal ini."

Seolah Dewi Nasib masih tak lelah juga membuat mereka bertemu satu sama lain dalam ketidaksengajaan. Mungkin ada baiknya bila mereka dipertemukan selepas 12 tahun tak bisa lagi bercengkerama sebagai rival. Siapa yang tahu dengan hal itu mereka mungkin akan mulai berpikir bahwa untaian hubungan yang tercerai di antara mereka bisa dipintal lagi menjadi sebuah hubungan yang baru. Hubungan yang mungkin jauh lebih baik dari sebelumnya.

"Tidak salah selama ini aku menganggapmu brengsek," ujarnya tenang sembari menuang sebotol soju ke dalam sloki kaca. "Bahkan perempuan baik-baik pilihan ibumu mau kau campakkan. Begitu bajingan kau, Jung." Lalu menenggak minuman tersebut tanpa ragu seolah dirinya tengah kehausan.

"Jangan berbicara seolah-olah aku adalah antagonis yang wajib kau sumpahi di sini." Pun yang satu tak terima dikutuki. "Satu-satunya yang harus kau ingat dalam kepala kosongmu adalah bahwa tidak ada yang baik-baik mengenai perempuan itu."

Pria itu seolah tak peduli dan terus sibuk menuang-minum soju dengan sloki kecil. Mengabaikan sang lawan bicara yang tengah mendengus kasar di hadapannya.

"Sebenarnya aku benci mengatakan ini, tetapi sepertinya aku sangat membutuhkan bantuanmu."

Dia mengernyit kala pria itu mulai berbicara seolah dirinya benar diperlukan. "Wow, aku tak salah dengar, 'kan? Jung Yunho yang terhormat ini membutuhkan bantuanku? Dunia mendekati halaman terakhir." Lantas dirinya berkata dengan heboh, tanpa melupakan aktivitas yang menjadi tujuannya datang ke tempat ini; minum, tentu saja.

"Diamlah, sialan. Tutup mulutmu." Pria itu mendesis. "Berhenti minum agar kau bisa mendengarkan dengan benar. Aku tak ingin membicarakan ini dengan orang yang hilang akal."

"Baiklah, kebetulan akalku masih jernih untuk mencerna rencana kotormu." Pun, dia meletakkan kembali botol soju bersama slokinya di atas meja. Menunggu dengan wajah serius yang main-main.

"Sialan," umpat pria itu, lalu melanjutkan, "Dengarkan ini. Aku tak akan mengulanginya dua kali dan kau cukup menerimanya tanpa perlu banyak perdebatan lagi."

"Kau punya hak apa memaksaku untuk menerimamu?"

Lawan bincangnya lantas berdecak. "Oke. Baiklah. Tidak harus langsung, tetapi kuharap kau mau mempertimbangkannya."

"Katakan," ucapnya dengan pandangan jatuh pada sloki kosong di hadapan.

Ada hening beberapa saat sampai sebuah kalimat memecah, "Song Mingi, dengan berat hati, aku memintamu untuk menikah denganku."

Selepas kalimat tersebut terlontar, geming yang sarat menguasai lingkup antara keduanya. Cukup dua menit ditelan keheningan, salah seorang pun akhirnya angkat suara, "Kau mabuk, Jung. Pulanglah."

"Satu-satunya orang yang menyentuh minuman di antara kita hanyalah kau."

"Tetapi kau barusan ... aish, akalmu pasti sudah rusak."

"Aku secara sadar mengatakannya."

"Kau gila."

"Aku tak punya hak memaksamu. Tetapi, sepertinya kau tak menolak ini." Pria itu diam sejenak. "Akan kuanggap itu sebagai tanda setuju darimu."

"Jangan bermimpi. Aku menolak. Pulanglah. Ibumu pasti sedang mencarimu."

Siapa yang tahu, 'kan?

Mungkin ini salah satu rencana aneh Dewi Nasib untuk mulai memilin untaian benang-benang kusut di antara keduanya. Memperbaiki apa yang telah rusak beberapa belas tahun silam. Hingga kelak pintalan itu kembali menjadi tali yang utuh dan semoga saja pertalian di antara mereka bisa dengan erat tersimpul lagi.

Bahkan lebih erat ketimbang simpulan sebelumnya. []

<<•>>

N/A:

Saya sangat menerima kritik dan saran yang bersifat membangun. Jangan sungkan untuk mengoreksi dan memberi tahu kesalahan di komentar. Terima kasih! ♥

With love,
Langit Serulian

[06052022]

Ameliorate Bond [YunGi]Where stories live. Discover now