TUJUH - Sendirian

34 15 3
                                    

Perumahan mati lampu saat aku sedang menonton gulat drama Amerika. Tadi malam hujan deras. Tetes air hujan sebesar biji jagung menghantam atap dan jendela. Berkat angin ribut, airnya masuk melalui celah ventilasi. Bukannya istirahat, aku malah harus berjongkok mengelap lantai basah. 

Berkat hujan deras pulalah aku tidak bisa segera tidur. Jadi aku berniat mengobok-obok saluran TV mencari hiburan untuk menunggu hujan mereda. Tak beberapa lama menyeduh teh panas, bunyi gledek meledak di dekat rumah. Jantungku jumpalitan. Aku menekan dada yang barangkali sudah tak ada isinya. 

Tak sampai sedetik lampu-lampu kompak wafat massal. Kuraba meja makan yang kuyakini ada korek api di sana. Aku langsung pergi ke nakas mencari lilin aromaterapi begitu ahaya api menyala. Sayang sekali aku tidak beli lilin biasa, jadi semua lilin aromaterapi berbagai varian kujajarkan di atas meja seperti lilin ultah. Wanginya saling gempur menyumbat hidung. Bukannya wangi, aku jadi mual dibuatnya.

Kubuka sedikit gorden. Remang-remang senter menyorot ke tiang listrik yang tak jauh dari halaman belakang. “Mampus, sudah. Bisa-bisa mati lampu semingguan.”

Hujan tak kunjung reda, yang ada malah mati lampu. Mau tak mau aku harus kembali ke kamar. Kumatikan banyak lilin aromaterapi yang menyala, kubawa dua saja akhirnya. Pelan-pelan aku melangkah melalui kursi dan meja. 

Cahaya lilin tidak benar-benar membantu. Kakiku meraba sejengkal demi sejengkal melewati banyak furnitur kayu. “Aku heran kenapa dia suka mengoleksi pernak-pernik!” Bahkan setelah kematiannya, ia masih menyusahkan aku dengan barng-barangnya.

Duk!

“Bangsa–!” jentikan kakiku menyepak kaki meja “--setan!”

Kutahan nyeri yang masih bersarang di kaki. Dengan terpincang-pincang aku pergi ke kamar. Kuletakkan lilin di nakas. Untungnya jentikanku masih utuh tidak berdarah–dan kurasa tidak akan koropos pula.

Walau kepala sudah tergeletak nyaman, tidak kunjung mata ini menutup. Telingaku tak kunjung mendengar hujan akan mereda, malah kilatan silih berganti mengintip celah ventilasi, disusul geluguk guntur di balik langit yang bersiap menyambar. 

Istriku, Helena, bilang, kalau aku mau memaksa menutup mata, pasti bakal tertidur juga. Helena bicara begitu karena aku pasti bakal terlelap saat dijampi-jampi begitu olehnya. Namun daya magisnya jadi berkurang saat Helena sudah tiada.

Alkisah, hujan malam begini ada seorang Pak Tua Kempot yang dibenci oleh seisi perumahan; tinggal di rumah yang katanya mirip seperti film-film; dan tidak bahagia, sebab ia hidup sebatang kara. Sekarang ia tidur di kegelapan, tengah merasakan simulasi alam kubur. 

Aku memiringkan tubuhku ke samping, menghadap ke bantal bekas pakai istriku. “Helena, di sana ada spring bed, tidak?” Kuusap hidung yang gatal. “Tidak mungkin ada, ‘kan, ya. Malaikat mana mau berkompromi?”

Gempuran air hujan mulai sayup-sayup terdengar di telinga. Mataku memberat. Kupeluk diriku sendiri bersama selimut yang menyelubungi.

***

Aku ingin punya anak. Rencananya dua. Anak pertama laki-laki, menyusul perempuan setelahnya. Kalau urutannya terbalik juga tak apa. 

Bertambah umur pernikahan kami, aku ingin punya anak tunggal saja. Laki-laki atau perempuan sama saja, aku ingin merawat mereka.

Dua puluh tahun pernikahan kami, aku meminta Helena untuk mengadopsi anak saja. Ia memekik kencang, ia ingin mengandung bayi. 

Aku tidak mengerti Helena. Sudah kuikhlaskan bila kami tidak diberi momongan. Tidak masalah bisa aku dan ia bisa mengadopsi anak bayi. Bakal kutanggung hidupnya sampai sekolah tinggi. Helena tahu, aku menabung untuk masa depan anakku nanti.

Lingkaran yang Terputus; Bagian 1Where stories live. Discover now