Bunga Yang Rapuh

6 0 0
                                    

Dia terlihat sangat bahagia, itulah kesan pertama yang aku dapat saat pertama kali melihatnya. Semuanya terlihat begitu tulus, anak-anak yang lain sepertinya juga senang berada disampingnya. Sikapnya yang sigap saat seorang anak terjatuh membuatku semakin terpesona.

“Hana!” panggil ibu pengurus panti pada gadis itu. Tanpa mengatakan apapun dia datang menghampiri kami.

“Ada apa bu?” tanya gadis bernama Hana itu.

“Kenalkan ini Joshua, dia akan membantumu mengurus anak-anak mulai sekarang” terang ibu pengurus.

“Joshua” ucapku sambil mengulurkan tangan padanya.

“Hana” ucap Hana tanpa ragu, kemudia meraih tanganku dengan senyum dibibirnya.

Udara sore ini cukup hangat beberapa anak bermain kejar-kejaran di halaman, sedang  anak-anak yang lain terlihat asik berteduh dibawah pohon bersama Hana yang sedang membacakan dongeng.

“Kak Hana” rengek salah seorang anak.

“Kenapa?” tanya Hana lembut.

“Ibu bilang aku akan diadopsi minngu depan” jawab anak itu sambil menangis.

“Terus kenapa kamu sedih?”

“Dia bilang ibu angkat itu jahat” ucap anak itu sambil menunjuk kearah anak yang lain.

Hana tersenyum kemudian berkata, “Dengar ya anak-anak, orang jahat itu tidak ada…” kalimatnya terhenti, untuk sesaat tatapan matanya yang hangat terasa begitu dingin dan kosong. “Mereka hanya punya banyak masalah yang membuat kepalanya terasa penuh. Jadi, mereka suka marah-marah. Tapi coba pikir untuk apa orang jahat mau mengadopsi anak baik seperti kalian?” Terang Hana. “Iya kan, Kak Joshua?” Hana melirik kearahku seakan meminta persetujuan.

“Yang Kak Hana bilang itu benar, kalian nggak usah takut diadopsi tapi inget kalau ada orang yang jahat sama kalian, kalian harus berani lawan atau nggak kalian bisa lari secepat mungkin dan teriak minta tolong.”

Sebagian besar anak-anak disini sudah ada sejak bayi dengan berbagai alasan yang menurutku mungkin terkesan tidak manusiawi. Beberapa ada yang kehilangan orang tua karena beberapa insiden dan tak ada dari kerabat yang mau merawat mereka.

Sudah beberapa bulan berlalu ternyata mengurus anak-anak yang kehilangan keluraganya bukan perkara yang mudah. Emosi anak-anak yang masih belum stabil terkadang membuatku sangat kerepotan, tapi untungnya Hana selalu bisa nenenangkan mereka.

“Hana, apa kau punya rencana minngu ini?” tanyaku disela-sela waktu makan siang.

“Kurasa tidak, kenapa?”

“Apa kau mau keluar bersamaku? Ibu pengurus bilang minggu ini kita boleh libur, kan?”

Hana diam sejenak “Boleh, lagipula aku juga sudah lama tidak pergi ke kota.”

Cuaca pagi ini cukup cerah, langitnya biru tanpa noda awan tipis bergerak perlahan tertiup angin. Hari ini aku berencana untuk mengungkapkan perasaanku padanya.

“Aku baru ingat salah satu penulis favoritku akan menandatangani buku barunya hari ini!” Seru Hana bersemangat begitu kami turun dari bis.

“Jam berapa acaranya dimulai?” tanyaku memastikan.

“Hmm... sekitar jam 3 sore.”

“Masih lama,” ucapku setelah melirik arlogi dipergelangan tangan kiriku “sambil menunggu bagaimana kalau kita kesana?” aku menunjuk sebuah Play Zone disebrang jalan, sepertinya akan menyenangkan.

“Boleh” jawab Hana singkat.

Kami menghabiskan sisa waktu hari ini di Play Zone dan untuk pertama kalinya Hana begitu banyak bercerita tentang apa yang dia suka, tentang makanan apa yang membuat perutnya sakit, tentang permainan apa yang sangat ia nikmati dan lainnya.

Haides Ruth Short Story #003Where stories live. Discover now