Ketika Reina Bercerita

1K 67 5
                                    

Rivanno membuka bekal makan siang yang disiapkan Reina pagi tadi. Ia tersenyum mendapati gurame asam manis dan capcay di kotak bekalnya. Istri tersayangnya memang sangat perhatian meski ia tengah hamil besar sekarang.

Ketika tengah mengunyah suapan pertama matanya tak sengaja melihat amplop berwarna merah maroon di bawah kotak bekal. Sambil masih terus menyuapkan nasi, ia ambil benda yang menarik perhatiannya tersebut.

Rivanno membuka amplop yang agak tebal isinya itu. Mendapati tulisan tangan Reina dalam beberapa lebar kertas. Surat cintakah? Rivanno tersenyum sendiri.

Ia memutuskan untuk segera membaca surat dari Reina. Tak sabar ingin mengetahui apa yang istrinya tulis di sana.

Teruntuk Kak Vanno ....

Aku tahu ini konyol. Hanya saja, aku ingin kau tahu rahasia hati yang kupendam. Mulai dari perasaanku sejak kecil. Sejak pertama kali melihatmu, hingga saat ini. Aku hanya akan bercerita di sini, tak akan meminta pendapatmu. Cukup kau baca lalu lupakan. Jangan pernah diungkit atau aku akan malu.

Rivanno tertawa kecil. Reina ini. Mana mungkin ia tahan tak menggoda perempuannya. Kalau tidak begitu, bukan Rivanno namanya.

Kak, tahukah kau seberapa dalam perasaanku terhadapmu? Sedalam perasaanmu terhadapku. Mungkin lebih. Kau tahu jika aku terlalu rapuh untuk berjalan sendiri tanpamu yang mendampingi. Kau pun tahu bagaimana aku saat kau pergi dan tak sekali pun memberi kabar bahkan harapan untukku. Seolah aku tak mampu melanjutkan hidup, namun tak bisa juga untuk mati.

Rivanno tersenyum miris. Ia tahu betul maksud sang istri. Karena bukan hanya Reina yang merasakan, tapi ia juga. Kemudian matanya kembali pada kertas di genggaman.

Apa kau ingat pertemuan pertama kita, Kak? Saat itu entah mengapa aku merasa sangat gugup begitu kau datang padaku dan mengenalkan diri. Tapi kau mampu mengambil hatiku dengan cepat. Tak perlu waktu berhari-hari, hanya hitungan menit saja. Kau begitu cepat membuatku nyaman denganmu. Meski tak berlangsung lama. Karena kebencianmu pada Bunda menguar dengan cepat sebelum kita mengenal lebih jauh satu sama lain.

Hanya selang beberapa jam saja sejak kita mengakrabkan diri, lalu kau berubah diam sejak selesai berbicara dengan ayah. Kau seperti memiliki kepribadian lain yang awalnya tak kutahu. Kau menghindar bahkan sebelum kuhampiri. Kau sembunyikan rapat-rapat senyum manis di balik topeng angkuhmu. Saat itu aku benar-benar tak mengerti dan hanya bisa menangis. Kehilangan teman sekaligus saudara yang belum sempat kukenal lebih jauh.

Namun semakin aku bertumbuh besar, alasan kau menghindar baru kumengerti. Mungkin karena ibu kita berbeda. Tolakan-tolakan darimu membuatku berpikir untuk pergi saja. Tapi ... pergi ke mana kalau orang tua satu-satunya yang kumiliki tinggal di sini?

Perasaan bersalah kembali menyerang. Memaksa ia meletakkan sendok yang sejak tadi digunakan hingga separuh bekalnya habis. Tanpa berhenti membaca sepatah demi sepatah kata di surat Reina.

Rasa bersalah, tak enak hati dan kesepian sering kali menggerogoti. Meski ibu selalu menghibur. Ia bilang, seiring waktu berjalan kau akan menerimaku. Kucoba untuk percaya meski hatiku sendiri tak yakin.

Hingga saat itu tiba, Kak. Ayah berusaha mendekatkan kita dengan caranya sendiri. Beliau bercerita padaku baru-baru ini kalau dulu itu sengaja menjadikanmu supir pribadiku. Biar hatimu luluh katanya. Namun itu malah menjadi awal dari segala takdir yang terjadi sampai sekarang.

Rivanno tersenyum kembali. Jadi seperti itu. Kalau bukan karena ayahnya, entah sampai kapan ia akan membenci gadis yang menjadi pendamping hidupnya kini.

Tak tahu bagaimana caranya rasa itu bisa menyelinap nakal ke dalam hatiku. Yang jelas, aku ketakutan sendiri menemukan diriku jatuh cinta padamu, Kak. Keyakinanku pada status kita saat itu begitu besar.

Love Zoneजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें