Prolog

21 2 0
                                    

Kali ini hujan datang.

Orang-orang berada didepan rumah mereka, tengah menyiapkan kendi-kendi untuk menampung air hujan yang terjatuh bebas dari atas. Air genangan yang kotor, hanya untuk kali ini saja tempat ini tak berbau busuk, mungkin karena hujan.

Kedinginan, tubuhku menggigil dengan pakaianku yang telah basah kuyup. Orang-orang hanya keluar sepintas hanya untuk menempatkan penampung air kemudian menutup kembali rapat-rapat pintu rumah mereka.

Aku yang tidak lagi memiliki rumah ini hanya bisa berteduh disebuah semacam terpal yang telah basah, dimana air-airnya yang telah menetes–merembes kebawah, namun setidaknya aku tak hujan-hujanan. Lorong kumuh diantara rumah dan lapak dagangan orang, aku berdiam-meneduhkan diri dari hujan.

Tempat ini bukanlah tempat yang asing, karena hampir setiap pagi aku mencuri beberapa sayuran dari lapak kumuh ini. Walaupun sayuran yang dijual orang itu terkadang busuk, karena dia adalah pedagang yang curang. Namun, aku tahu pedagang itu menyembunyikan bagian yg busuk di bawah tempat dagangannya dan memasang sayur yang baik didepan sebagai penarik perhatian, dan aku hanya akan mengambil sayuran yang baik.

Cegrek! Jendela kayu dari rumah disampingku terbuka, muncul kepala yang mengadah keluar, kemudian melempar sampah kearah ku.

Dia adalah penjual licik itu. "Kau! pengerat. Pergi dari sini!"

Aku terkejut, badanku melompat ke depan dan langsung bergegas pergi. Jalanan becek yang penuh air dan lumpur yang mengalir, sesekali aku terjatuh-terpeleset di genangan air berwarna coklat.

Badanku yang kurus kerontang, dekil dan bau, seharusnya aku lebih lama berdiri dibawah hujan ini. Kepalaku tengadah keatas sambil menganga lebar-lebar. Air gratis, aku bersyukur, namun terasa sedikit... menyedihkan.

Di pemukiman kumuh ini, aku tak memiliki siapapun lagi. Orangtuaku, sejak kecil aku hanya tinggal dengan ibu yang sakit-sakitan. Dia tak lagi bekerja, aku yang harus merawatnya setiap hari. Aku mencuri, dan terkadang mendapatkan bayaran upah yang tak seberapa dari gembong di wilayah ini. Berkali-kali kurasakan nyeri dan perih yang kudapatkan demi sepotong roti atau sayuran busuk, mungkin jika sedang beruntung aku bisa mendapatkan buah segar.

Tempat ini adalah sebilah kenyataan yang kurasakan sejak lama. Banyak orang yang terlantar dipinggiran jalan yang pada akhirnya meninggal begitu saja, sendirian tanpa ada yang tahu ataupun peduli. Bahkan pengemis tua yang selalu baik padaku itu sudah tiada, aku menemukannya di padang rumput disaat dia sudah tidak bernyawa.

Padahal dia selalu menceritakan kepadaku kisah tentang penunggang hitam yang membawa kedamaian dan malapetaka. Dia juga terkadang memberikanku makanan yang ia dapatkan dari hasil mengemisnya.

Sehari-hari adalah bertahan hidup, pada suatu waktu aku berkata kepadanya. Kemudian ia menjawab, "ada sesuatu yang lebih berharga dari apapun, bahkan jika kau membayangkan segunung koin zel, hal itu tiada bandingnya dibandingkan dengan satu hal, yakni keluarga."

Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari lengannya bak atraksi sulap, "ini, makanlah bersama ibumu." Aku menganggukkan kepala, langsung bergegas; berlari pulang dengan terburu-buru. Senyum lebar di mukaku sangat terlihat jelas bagi siapapun yang melihatku, sambil membawa buah plum berwarna merah muda ditangan, aku seakan membawa sebuah harapan yang sangat begitu penting.

Namun, saat aku membawakannya–ibuku makanan, dia mendorongku. "Anak haram! Pergi dari sini!" itu yang ia katakan, membentak ku. Buah yang kubawa terlempar dan jatuh begitu saja ketanah. Telah kotor sudah, sebenarnya buah plum itu tidak lagi bisa dimakan, namun aku tetap memungutnya kembali. "Kenapa kau harus terlahir dariku, aku tak pernah menginginkanmu," ucap lanjutannya dengan penuh kebencian dan penyesalan mendalam. Rambutnya yang kering dan acak-acakan, wajahnya pucat dan sangat kurus. Hening kurasakan didalam kepalaku, bingung, mataku hanya melebar terkejut karena sejatinya aku ketakutan saat itu. Namun, hari-hari sudah menjadi seperti halnya seperti ini, bagaimanapun juga aku hanya memilikinya seorang.

No. 16Onde histórias criam vida. Descubra agora