Prolog

29 10 0
                                    

"Kamu enggak mau ikut?"

Nai menggeleng. "Aku mau sering-sering di rumah aja."

"Apa kamu sibuk?"

"Yah ... bisa dibilang."

Satu bulan setelah masuk SMA, anak-anak kelas 10 mengikuti acara Demo Ekstrakurikuler. Tak sampai sebulan kemudian, beberapa ekskur sudah mulai mengadakan pertemuan perdana dengan anggota baru, meski beberapa baru membuat Open House. Dan sekarang, menjelang akhir tahun, masa-masa pelantikan semakin dekat.

Nai memilih tidak ikut apa-apa. Ia merasa, ia akan lebih senang di rumah, mengajari adik-adiknya tentang pelajaran yang tidak mereka mengerti. Nai juga tidak mau menambah pikirannya di sekolah. Lebih tepatnya, ia tak mau bertemu orang lain. Nai membatasi dirinya sendiri karena kejadian yang lalu. Meski begitu, Husna tampak berkeras mengajak Nai mengikuti rangkaian acara ROHIS. Nai sudah mengiakan sekali. Cukup sekali.

Andai Nai merasa terikat dengan seseorang, ia akan merasa amat bersalah jika menolak apa pun yang ditawarkan padanya. Akibatnya, ia akan selalu mengiakan. Hal itu membuatnya amat lelah. Hanya satu pengecualian di mana Nai terang-terangan berani menolak: Husna.

"Aku 'kan udah ikut open house kemarin!" seru Nai. "Tapi, kalau sampai terlibat jadi keanggotaan ... enggak, enggak dulu. Aku belum mau."

Husna hanya tersenyum kecil. "Kamu pasti merasa lebih berguna kalau di rumah, ya?"

"Uh ... iya!" Nai gugup mendadak.

"Jadi, nanti pulang sendiri enggak papa?"

"Ya, enggak papa, dong," sahut Nai. "Kenapa? Kamu takut aku kenapa-kenapa?"

Husna tak menjawab. Matanya agak menerawang.

"Belum bel, 'kan?" Nai melirik jam. "Aku mau ke kantin sebentar, deh. Nitip?"

Husna menggeleng. "Aku ikut aja."

Mereka berdua ke kantin dan terpencar untuk mencari jajanan masing-masing. Nai sedang asyik memilah kudapan dingin ketika ada tangan yang asal menyerobot bungkusan yang ia ambil.

Hissss, batin Nai. Sebaiknya, ia tak berbalik. Ia memang kesal, tetapi ia pasti kalah. Nai tak mau merasa terpojok. Perasaan itu sangat tidak menyenangkan.

Nai buru-buru mengambil dua bungkusan dan hendak membayarnya. Beberapa anak perempuan yang mengobrol di sebelahnya membuat Nai risi. Mereka jelas-jelas bergosip dengan suara keras.

Masih ada model manusia kayak begini di dunia?

Yah, Nai memang amat membatasi pergaulannya. Ia takut dengan orang lain. Ia hanya ingin bersama mereka yang membuatnya merasa aman.

Husna, misalnya.

Nai memutuskan cepat-cepat membayar dan pergi. Husna pasti sedang menunggunya di muka kantin. Lagipula, bel sudah hampir berbunyi.

"Eh ... tunggu!"

Nai mematung. Perasaan takut yang aneh merambat ke seluruh tubuhnya.

Ada yang mencengkeram bahunya, menahannya dari pergi. Hal itu membuatnya langsung merasa buruk.

Apa salahku?

Nai berbalik. Ia tahu, tangannya yang gemetar tak sanggup ia samarkan. Ia tahu, pandangan matanya berlarian, tidak bisa fokus. "Y-ya? Kenapa?"

"Ehm, kamu agak familier. Eh, kelas 10, 'kan?"

Ingin rasanya Nai mengaku sebagai kakak kelas. Duhai, keberanian, datanglah. Ia mengangguk, lalu mencoba mengangkat wajah. "10 MIPA 3."

"Oh? Eh, enggak nanya."

Nai mencebik. Ia kini lebih merasa kesal daripada takut. "Tadi nanya, kok!"

"Nairella, 'kan?"

Nai mengerjap beberapa saat.

"Udah berani ya sekarang. Bisa ngegas gitu."

Nai masih mematung.

"Ternyata ... kita satu sekolah lagi, Nai. Ingat aku, 'kan?"

Senyum palsu itu, tentu saja Nai ingat.

"Aku kelas IPS 1. Aku akan menyambutmu kalau kamu ke kelasku." Anak itu menepuk bahu Nai beberapa kali. "Aku Vera. Just in case kamu lupa namaku." Ia berlalu begitu saja.

Bukannya Nai melupakan. Ia tak mau ingat.

Siapa yang menyebarkan rumor aneh selama SMP dulu? Siapa yang bermuka dua, sok baik tetapi berbisa seperti ular? Sok-sok menyambutnya, tetapi perkataannya membuat Nai merasa terhina.

Siapa?

Kenapa aku harus ingat? Kenapa aku harus bertemu?

"Aku akan menyambutmu kalau kamu ke kelasku."

Menyambut, bukan dalam konotasi yang baik.

Nai menelan ludah, lalu menggeleng kuat-kuat. Ia cemas, ia takut, tetapi ia tak mau digerogoti kekhawatiran. Mereka sudah SMA, apa Vera mau macam-macam dengannya lagi?

Ah, mungkin saja, Vera mau minta maaf.

Pikiran itu membuat Nai merasa agak ringan. Ia berjalan ke arah kelas dan melonjak tiba-tiba ketika ada yang menepuk punggungnya.

"Aku tungguin dari tadi, kamu malah asal selonong!" Husna tampak jengkel.

Nai nyengir sedikit. Satu hal tentang Husna yang belum ia temui pada orang lain membuat Nai merasa bebas berekspresi di hadapannya. "Sori, aku bengong."

"Nanti kamu mau langsung pulang?" Rupanya, Husna masih tak menyerah mengajak Nai ikut pelantikan ROHIS.

Nai mengangguk. Namun, mendadak, ia merasa ragu.

"Aku papasan sama teman lama. Aku mau ke kelasnya."

================================

[Prolog: selesai]

Jaksel, 3/4/22
zzztare

Maaf ....Where stories live. Discover now