[2] Fotografi; Nawala

1.6K 178 10
                                    

Bayanaka Nawala punya alasan kuat mengapa fotografi menyenangkan baginya.

Di beberapa waktu, kehidupan berjalan sangat cepat ibarat jam pasir rusak yang berkarat. Dia kehilangan beberapa jejak untuk menyimpan kenangan itu. Seperti waktu sekolah ketika dia pulang dan mendapati bendera kuning terikat di pagar rumah alih-alih ibunya. Seperti ketika ia perlu menetap pada bangunan yang disematkan frasa 'panti asuhan' untuk melanjutkan hidup dan membayar waktu sewa lebih lama di bumi, meninggalkan rumahnya yang kosong dan berubah menjadi dingin menggigil.

Nawala kehilangan beberapa hal. Subjek yang memeluknya ketika dia butuh, tempat teduh yang hangat di mana ia dan ibunya menjadi salah dua penghuni di dalamnya, juga rekam jejak antara kepingan memori tentang hidupnya yang sudah menginjak 20 tahun di bumi.

Laki-laki kelahiran Agustus itu kehilangan banyak potret abadi. Maka, dia tidak ingin lanjut menyambut kehilangan tanpa mengabadikan apa-apa. Nawala ingin selalu menyimpan dunia dari bidik lensanya.

Sehingga ketika kameranya punya kemungkinan untuk terluka, Nawala kelabakan. Ia bahkan tidak memedulikan bahwa saat ini tubuhnya yang basah kuyup terlihat jauh lebih membutuhkan pertolongan.

"Maaf, punya tisu enggak, ya?"

Nada suaranya barusan terdengar tergesa-gesa dan menuntut, tapi perempuan di depannya justru memberi reaksi mematung dengan tatapan bingung. Nawala jadi takut dia semakin mengulur waktu untuk menyelamatkan Hiba—kameranya.

"Enggak punya, ya? Oke, gue tanya Akang-Teteh yang jualan aja. Makasih, ya."

"Punya." Perempuan itu langsung angkat suara. Dia merogoh tasnya, mengeluarkan satu bungkus tisu penuh yang kelihatannya belum pernah digunakan sama sekali.

"Gue minta, ya."

Menit-menit selanjutnya diisi oleh keheningan yang menemani hujan menepi. Nawala sibuk mengelap kameranya dengan ekstra hati-hati. Bagian-bagian yang sudah dia hapal secara rinci itu diperhatikannya baik-baik, memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan kamera itu. Hiba adalah satu-satunya hal berharga yang tersisa di dunia, separuh bahagia Nawala rasanya sudah menetap di sana. Dia pasti akan menyalahkan dirinya sendiri jika Hiba rusak dan tak bisa kembali menyala.

Sebenarnya hujan sore ini datang tanpa prediksi. Nawala selalu melihat perkiraan cuaca setiap pagi untuk mempersiapkan barang apa yang akan dibawanya, tidak ada berita mengenai kedatangan hujan hari ini. Sehingga ketika hujan tiba-tiba menyapa, dia buru-buru berlari ke gedung fakultasnya karena kebetulan, gedung itu yang paling dekat dengan posisi berdirinya.

Bahkan saking paniknya, Nawala lupa dia membawa motor yang masih terparkir di depan minimarket.

"Tisunya habis." Nawala langsung disergap rasa bersalah begitu menyadari tisu milik perempuan itu sudah dia pakai semua. "Maaf, gue ganti, ya."

"Enggak apa-apa, santai. Kamera lo aman?"

"Aman, aman. Gue coba tanya ke yang jualan dulu, ya. Sebentar."

Tak lama setelah itu, Nawala kembali dengan gurat ekspresi rasa bersalah. "Enggak ada yang jual ternyata. Maaf, ya," sesalnya.

Perempuan itu mengibaskan tangan dengan halus. "Gak pa-pa, santai aja."

Nawala mengangguk pelan. Dia mengukir senyum tipis, mengalihkan pandangan ke luar untuk menemui tampilan buram yang disebabkan oleh hujan. Tas Hiba yang basah diletakkannya di sudut meja, sementara Hiba berada di depannya setelah memastikan bahwa kamera itu masih hidup dan tak terluka.

"Mau?"

Bola mata Nawala bergerak ketika sadar ia sedang diajak bicara. Perempuan itu sedang makan es krim, tangannya yang lain memajukan satu es krim di atas meja mendekat ke arah Nawala

Kaki BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang