Three Years Ago

213 29 21
                                    

Nb: halo, semoga kalian selalu dalam keadaan sehat dan bahagia. Maaf lupa tanggung jawab berkali-kali. Chapter ini adalah kilas balik dari cerita tujuhbelasnolnol, yang artinya aku mau menceritakan bagaimana dua orang ini bisa sedekat nadi kemudian sejauh matahari. Semoga enggak bingung. Oiya, mohon maaf kalau panjang sekali ><

Telapak tangannya yang dingin itu dia gosok-gosokkan pada tiap-tiap dari yang lain lalu menempelkannya ke pipi. Napasnya terhembus dengan begitu ringan, membarengi perasaan lega yang menggelanyuti dada selepas ia berhasil menyelesaikan butir-butir soal olimpiade Geografi yang ditekuninya. Kepala yang hendak meledak karena tingkat kesulitan soal yang memang di atas rata-rata, membuat gontainya langkah yang ia ayunkan tak jelas hendak berhenti di mana sampai akhirnya punggung ringkih itu ditabrak oleh seseorang yang juga baru beranjak dari bangku belakang.

"Aduh, maaf-maaf. Saya ngalangin jalan, ya?" Chika dengan semua perasaan bersalahnya meminta maaf, memandang cowok dengan almamater abu-abu itu dengan teduhnya mata yang ia punya. "Ada yang sakit?"

"Kalau mau berhenti, tuh, lihat-lihat dulu. Jangan di tengah jalan kaya gini."

Chika terkejut, sungguh. Pasalnya, yang selama ini tertanam di kepalanya adalah semua orang pasti akan mengatakan tidak apa-apa saat ada orang lain—terlebih orang baru—mengucapkan maaf untuk ketidaksengajaan yang diperbuatnya. Namun, pemuda ini justru berdecak angkuh seperti itu? Memangnya ada warna manusia seperti ini?

Dia hampir bersikap tak acuh tatkala punggung itu berlalu begitu saja seandainya tidak menyadari jika ada sesuatu yang hilang dari dirinya.

Menundukkan pandangan, menghentakkan kakinya ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa benda itu terjatuh di sini, tetapi nihil. Dia tidak melihat apa pun kecuali bekas pantofelnya sendiri. Lekas menenggakkan kepala, memekikkan seruan untuk pemuda tadi.

"Hei, tunggu!"

Chika berlari. Menarik ujung almamater yang anak lelaki itu gunakan hingga membuat si empunya membalikkan badan. Menepis dengan cepat tangan Chika agar tak mencengkram ujung almamaternya.

"Apaan, sih, lo? Enggak sopan banget, deh, narik-narik almet orang." Dia menggerutu, memperhatikan Chika memperhatikannya dari atas hingga bawah seperti mencari-cari sesuatu. "Lo nyari apa, sih? Risi gue."

"Enggak ada." Chika menggumam.

"Aneh, ya, lo emang. Enggak jelas."

Cowok itu berlalu, Chika juga tidak peduli. Toh, tujuannya mengejar cowok ini juga hanya untuk mencari gelang bermanik cokelat dengan tali hitam yang dirangkaikan oleh Putra saat ia tahu putri sulungnya ini hendak mengikuti Kompetisi Sains Tingkat Kabupaten/Kota beberapa bulan lalu. Gelang manik cokelat yang menurut Chika juga merupakan keberuntungannya. Sekarang, setelah dia selesai mengerjakan Kompetisi Sains Tingkat Nasional, gelang itu hilang begitu saja. Apakah ini berarti keberuntungan Chika akan habis juga?

"Anak Ayah mau ikut KSK, ya? Nih, Ayah bikinin gelang. Dipakai ya. Biar Kakak tahu kalau di sini, Ayah sama Mami selalu dukung Kakak meski enggak bisa nonton langsung."

Huh, Chika sebal menjadi cengeng hanya karena kehilangan gelang seperti ini!

Bulan Juli sampai dengan Agustus selalu menjadi bulan paling menyebalkan bagi Chika sebab pada bulan-bulan ini, dia harus berlapang dada untuk pulang menggunakan angkutan kota atau bus mana pun yang dapat mengantarnya sampai rumah karena Putra, ayahnya, yang rajin mengantar jemput itu mulai memasuki bulan-bulan monitoring ke sekolah-sekolah di bawah Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga tempat ayahnya bekerja.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 12 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

17.00Where stories live. Discover now