Aksa atau Rayyan?

Start from the beginning
                                    

Rio menggeleng, ia segera menuntun Dami untuk di periksa.

"Kita periksa dulu ya Dami? Abang gak bisa mastiin kalau Abang belum periksa."

Dami menurut saja, jujur, dalam hatinya ia merasa takut. Apa penyakitnya sudah separah itu hingga menyebabkan gejala yang tak biasa selain mimisan?

Tubuh Dami terbaring di atas brankar, ia diam saja saat Rio mulai memeriksanya. Setelah hampir setengah jam, Rio menghela nafas, wajahnya terlihat lesu, sedih dan takut.

Kini keduanya sudah kembali duduk berhadapan.

"Bang? Gimana? Udah parah ya?"

Rio mencoba untuk tersenyum, setelah memeriksa keadaan Dami tadi ia di liputi rasa cemas, takut dan sedih. Mengapa ada anak sebaik dan semanis Dami mengalami ini semua tanpa adanya keluarga disisinya?

"Dami, apapun yang terjadi nanti, Abang harap kamu tetap sabar. Umur gak ada yang tau Dami, bisa saja yang sehat di panggil lebih dulu sama yang di atas. Kamu jangan pesimis oke? Kamu turuti prosedur dari Abang ya? Ikut kemoterapi,"

Dami terdiam, walau Rio tak menjelaskan tentang kesehatannya, tapi dirinya paham. Penyakitnya itu sudah parah, bahkan memang parah saat awal dirinya di vonis.

Dami menggeleng pelan.

"Dami..."

"Aku gak punya banyak uang untuk melakukan kemoterapi itu bang, lagian kemo itu sakit. Sudah cukup dengan rasa sakit ini bang, aku gak mau nambah lagi." Kepala Dami menunduk, matanya berkaca-kaca.

"Ibu, Aku butuh ibu."

"Tapi Dami---"

Dami menggeleng, "aku mohon bang, jangan paksa aku. Aku hanya ingin menikmati sisa waktu aku dengan bersama mereka bukan kemoterapi dan semacamnya. "

"Lagian, kalau aku ikut kemo bukan gak mungkin mereka akan tau kondisi aku. Jadi percuma saja selama ini aku tutupi."

Rio menghela nafas, setelahnya ia tersenyum.

"Abang gak akan paksa kamu, tapi kalau kamu sudah tidak kuat Abang gak akan minta persetujuan dari kamu, Abang akan langsung membawa kamu ke ruang kemoterapi, dan kamu tidak akan bisa menolak."

"Dami..." panggil Rio, mata mereka saling bertemu, ada kata yang ingin mereka sampaikan lewat tatapan mata itu.

"Bertahanlah, Abang akan selalu ada untuk kamu Dami, Abang akan selalu di samping kamu, support kamu. Jangan pernah merasa sendiri ya?"

Dami mengangguk, membalas tatapan lembut Rio dengan senyuman.

*****

"Dari mana saja kamu?"

Aksa terperenjat kaget, ia mengeratkan pegangannya pada tali tas.

"I-ibu?"

"Bagus. Sekolah macam apa ini Aksa, jam segini baru pulang? Kami di rumah sakit bergantian menjaga Rayyan kamu malah enak-enakan main sama teman-teman berandalan kamu itu."

Aksa menunduk. "M-maaf,"

"Saya gak perlu maaf kamu, kesalahan kamu terlalu besar, sulit untuk saya memaafkan kamu."

Kepala Aksa semakin menunduk, tangannya saling meremas.

Hiks!

Mata Aksa terbelalak saat mendengar suara Isak tangis Mona, ia segera mengangkat kepala, menatap Mona yang memang benar sedang menangis seraya menunduk.

HELP [Tamat]Where stories live. Discover now