"Ada apa ini?"

Rayyan menoleh, disana, petugas kesehatan datang dan langsung bertanya. Rayyan mengangkat bahu acuh.

"Ada minyak kayu putih?" tanya Rayyan. Petugas kesehatan itu mengangguk.

"Ada, sebentar. Nih," petugas itu menyerahkan minyak itu terhadap Rayyan. Rayyan mengernyit.

"Maksud lo?"

"Ck, ya ini, tadi lo minta minyak kayu putih."

"Ya lo urus dia lah, gua sih ogah. Kan lo petugas kesehatannya disini."

Petugas itu menghela nafas, ia segera meraih tisu, membersihkan noda darah di bawah hidung Aksa. Rayyan? Lelaki itu pergi? Tidak, ia malah terduduk di salah satu brankar.

"Ck, katanya ogah tapi malah diem disitu."

"Gua hanya mastiin dia gak mati, " ucap Rayyan santai, tangannya sedang sibuk mengutak Atik ponselnya, tapi matanya sesekali melirik Aksa yang masih damai dengan pejamnya.

"Lo ngedoain anak orang mati?"

Rayyan mengangkat bahunya, "kalo udah waktunya gimana?"

Petugas itu menatap Rayyan. Kepalanya menggeleng pelan.

"Kenapa dia?" tanya Rayyan.

"Pingsan,"

"Ck, maksud gua, kenapa bisa pingsan?"

"Maag nya kambuh, dia belum sarapan kaya nya. "

Rayyan ingat, ia tidak pernah melihat Aksa sarapan di rumah. Entah di sekolah, sepertinya tidak. Ah-kenapa Rayyan harus peduli? Biarkan saja.

"Tapi ko bisa mimisan?"

"Ya mana gua tau, panas dalam kali."

Rayyan hanya manggut-manggut.

Eugh!

"I-ibu,"

Hati Rayyan mencelos, ia tak bisa membayangkan jika dirinya menjadi Aksa. Di saat sedang sakit seperti ini, ia hanya sendirian. Tidak ada sosok ibu dan ayah. sungguh, ia tidak bisa membayangkan.

Mata Aksa perlahan terbuka, matanya mengerejap pelan berusaha menetralkan pandangan.

"Gua kira lo mati? Kenapa sih, jadi orang selalu nyusahin?"

Aksa menolehkan kepalanya cepat. Di sana ada Rayyan dan petugas kesehatan. Dan Aksa kenal betul suara itu, Rayyan.

"Ma-maaf,"

"Seharusnya tadi gua biarin lo pingsan di tengah lapang sana dan biarin lo mati."

Deg!

Ya Tuhan, berapa orang yang menginginkan kematian dirinya? Apa semua makhluk bumi ini menunggu kabar kematiannya? Sepertinya seperti itu.

"Ray, mulutnya." ucap petugas itu.

"Pergi sana, dia sudah sadar ini kan?"

Petugas itu mengangguk, sebelum itu ia memerintahkan Aksa, untuk segera memakan roti dan obat maag yang sudah ia siapkan. Aksa tak merespon, kepalanya hanya di penuhi dengan kata mati. Jangan sampai, ia sampai bunuh diri.

"Iya, seharusnya Abang biarin aku mati di sana. Pasti, bang Arya, ibu dan bang Arka akan senang. Mungkin tak cuma mereka, Abang juga akan senang bukan? Lalu kenapa Abang tolongin aku?" setelah petugas itu berlalu, Aksa memberanikan diri mengangkat suara.

Rayyan? Lelaki itu diam tak berkutik.

"Itu karena gua kasihan, gua gak mau lo mati gitu aja sebelum lo menderita sederita-deritanya. Lo harus ngerasain jadi gua, hidup tanpa seorang ibu itu gak enak. Gua pengen lo ngerasain itu."

HELP [Tamat]Where stories live. Discover now