Cinta Berbatas Senja

32 5 0
                                    

Bismillah,


Aroma pastry yang sedang dipanggang, bercampur dengan wangi kopi Arabica menguar lembut. Menjangkau setiap sudut café bernuansa shabby chic di dekat Stare Miasto itu. Pratiwi menggenggam cangkir cappucinonya, menatap sendu ke jalanan yang sedikit ramai.

Cuaca hari ini beku. Pertanda musim gugur akan segera berlalu. Salju tipis berterbangan, terkapar di jalanan yang basah. Pratiwi mendengus, mengenyahkan perasaan yang dia tidak tahu namanya.

Satu tangannya meraih garpu di atas piring apple pie, tangannya yang lain memijit pelipisnya yang berdenyut ngilu. Pertanyaan Febrian terngiang lagi.

'What reason can be better than love, Wi?'

Argh! Kenapa lelaki itu lagi-lagi mengungkit cinta? Perasaan aneh yang mengoyak Pratiwi 10 tahun yang lalu. Perasaan mendalam yang membuatnya teriris ketika melihat Febrian bersanding dengan Mellyana. Kekacauan dalam hidupnya bermula dari cinta.

Tangan Pratiwi meraih cangkir, menandaskan cappuccino yang tersisa seperempat dan mulai dingin. Dia bangkit, melangkah menuju pintu keluar. Tak peduli udara beku siap menyambutnya.

Febrian. Lelaki itu tiba-tiba saja hadir, tepat di depan matanya. Menyunggingkan senyum yang sama seperti 10 tahun yang lalu. Mengulurkan tangan kokoh dengan kulit sewarna tembaga. Dan suaranya, suaranya yang dalam dan tegas. Semua membangkitkan lagi secuil rasa berwarna merah jambu di sudut terjauh hati Pratiwi.

Lelaki yang dulu meninggalkannya itu tiba-tiba kembali. Kenapa harus sekarang? Ketika Pratiwi sedang rapuh karena kepergian Semeru.

Kaki Pratiwi yang kebas terus melangkah, menuju Stare Miasto yang hanya berjarak 2 menit dari café itu. Dia tidak tahu untuk apa mengunjungi tempat yang dihiasi gedung-gedung tua itu. Seharusnya dia kembali ke apartemen, menghidupkan pemanas dan mulai menulis laporan penelitiannya. Sayangnya, Pratiwi tidak dapat menahan kakinya untuk terus melangkah. Seakan sosok Semeru sedang menarik tangannya, memaksa Pratiwi untuk mengulas kenangan bersama mendiang suaminya.

Semeru yang menggenggam tangannya lembut. Mengajaknya mengelilingi Rynek dan membeli pernak pernik unik untuk Pratiwi. Semeru yang meyakinkannya bahwa cintanya tidak akan menyakiti Pratiwi. Semeru yang tidak peduli apakah Pratiwi membalas cintanya atau tidak.

Pratiwi tergugu, menyadari dia tidak pernah mencintai Semeru. Dia tidak pernah berani mencintai suaminya, dan malah menyimpan nama Febrian rapat-rapat.

'Ayo menikah, Wi.'

'Nggak ada alasan lain yang lebih baik selain cinta. Please, menikah sama aku, Wi.'

Ucapan itu terngiang lagi. Pratiwi memejamkan mata, menggigit bibirnya dan mencengkram tangannya. Berusaha keras menyingkirkan suara-suara yang didengarnya. Mengenyahkan keinginan untuk menerima ajakan Febrian.

Kakinya terus mengayun. Deretan gedung tua itu mulai terlihat. Alun-alun luas dengan payung-payung dan kursi kayu yang ditata berbentuk lingkaran sudah tertangkap matanya. Royal Castle dengan temboknya yang merah berdiri gagah. Seakan mengerti kalau dialah pusat dari tempat itu. Jantung Stare Miasto.

Sama seperti Febrian yang menempati pusat dalam hatinya.

Pratiwi mengerang, menghapus sosok Febrian. Mati-matian menggantinya dengan Semeru. Dia mengedarkan pandang ke sekeliling Stare Miasto, mencoba menghadirkan Semeru dan kenangannya yang akan menumpas cinta Pratiwi pada Febrian.

Tapi ... kenapa malah sosok lelaki berambut lurus dengan jaket tebal berwarna abu terang yang menghiasi netranya. Mata Pratiwi mengerjap, memastikan kalau Febrian yang dilihatnya hanyalah angan. Dia harus berhenti melukai dirinya. Febrian dan semua hal tentangnya harus pergi.

"Semeru, aku di sini. Menelusuri lagi kenangan kita. Aku ingin mencintai kamu, sebanyak kamu cinta sama aku," bisik Pratiwi lemah.

"Tiwi, ayo menikah. Please, marry me."

Pratiwi terus berjalan, mengibaskan tangannya kasar. Mencoba tidak peduli pada lelaki yang sekarang mengejar langkahnya.

"Aku tahu kamu masih cinta sama aku, kita masih saling cinta. You can't deny that, Wi." Febrian memohon, dan Pratiwi terus mencoba tak peduli. Dia tidak bisa menikahi Febrian walaupun sesuatu yang meronta dalam dirinya itu begitu merindukan lelaki cinta pertamanya ini.

"Kita nggak bisa terus-terusan menghindar, kamu lihat cinta malah mempertemukan kita. Ribuan kilo jauhnya dari Indonesia, kita bertemu lagi. Bukan semakin jauh, kita semakin dekat. Apalagi namanya kalau bukan cinta, Wi."

Langkah Pratiwi berhenti seketika. Tangan di dalam saku jaketnya saling meremas, bukan menahan dingin. Tapi menahan kata 'oke' yang siap keluar dari bibirnya. Perempuan berpasmina fuchsia itu berbalik, menatap Febrian dalam. Sorot mata sendu dan tajam bercampur pilu.

"Aku nggak mau, Feb. Aku nggak mau menikah sama kamu," tolaknya.

"Karena?"

"Kamu punya Mellyana, dan putri kecilmu, Adinda. Aku nggak bisa menukar kebahagiaan mereka dengan cinta usang ini. Nggak bisa, Feb," ucapnya dengan bibir gemetar.

"Aku sudah bilang sama Mellyana, aku akan berpoligami. Itu nggak salah, kan?!" debat Febrian.

"Jangan bawa-bawa poligami kalo cuma mau melegalkan cinta dan ego kamu, Feb. Cinta bukan alasan untuk kamu berpoligami! Cinta nggak bisa dijadikan alasan untuk kita menikah, lalu bahagia. Sementara cinta yang kita agungkan itu membuat Mellyana dan putri kamu menderita. Menurut kamu cinta macam apa itu?! Aku nggak bisa, kalau harus memakai cinta untuk memenangkan egoku. We are done! Our love is done!"

Pratiwi berbalik. Menyembunyikan air mata yang siap meluncur dari sudut matanya. Membiarkan Febrian terpaku di belakangnya. Lelaki itu mungkin sedang merangkai kalimat lain, alasan untuk meyakinkan Pratiwi tentang menikah.

Lelaki itu boleh mengejarnya, mencoba meluluhkan hatinya memakai kata cinta. Untuk Pratiwi cinta ini sudah selesai. Febrian masih ada di hatinya, tapi cinta mereka sudah usai.

Langit yang gelap dengan semburan cahaya jingga memayungi Pratiwi. Siluet Royal Castle yang menyala terang menyajikan perpaduan cantik pemandangan sore musim gugur. Hari ini sudah selesai, ditandai dengan datangnya senja di Stare Miasto.

Seperti hari, cinta pun ada akhirnya. 

Warsawa, December 2015

Life Spices: Antologi CerpenWhere stories live. Discover now