tiga puluh sembilan

Start from the beginning
                                    

"Oh, gitu...," Bara menjawab seadanya, dengan harapan Ayahnya tidak melanjutkan pembicaraan mereka dengan kembali ke topik awal.

"Jadi dia pacar kamu bukan?" Bara mencoba untuk tidak berekspresi apa-apa dan fokus dengan film yang diputar.

"Yah, diem dulu. Filmnya lagi seru," Abian yang mendengar itu menyebikkan bibirnya, ikut memperhatikan film yang ada di layar televisi. Tapi tak berselang lama, film itu telah habis, berganti dengan sederatan nama yang bersangkutan dengan film selayaknya penutupan film biasanya.

"Udah selesai tuh filmnya. Bisa kali dijawab," Abian menatap dengan penuh godaan ke arah anaknya.

"Filmnya bagus," Bara berucap sambil meraih botol minumnya dan meminumnya sekali lagi.

"Lebih bagus kalo kamu jawab pertanyaan Ayah," Abian melipat tangannya di atas dada, terus berusaha membuat anaknya menjawab pertanyaannya.

Sedangkan Bara yang kesal karena sedari tadi berusaha mengalihkan topik tetapi gagal menoleh ke arah Ayahnya dengan malas. Abian langsung menaik turunkan alisnya.

"Ya menurut Ayah aja deh gimana," Bara meraih remote yang ada di sampingnya, mematikan film yang bagian penutupannya belum selesai dan berencana beralih ke film yang lain.

"Kalo menurut Ayah sih ya, dia pacar kamu. Kalo bukan, kenapa diajak ke sini? Padahal biasanya kamu gak pernah bawa temen selain Agam dan kawan-kawan. Ya gak sih?" Abian terus memperhatikan gerak-gerik tubuh Bara yang terlihat tidak nyaman saat ia mulai membahas tentang pacar.

Ia tahu hubungannya dengan Bara tidak begitu akrab. Ia hanya bisa sesekali berinteraksi seperti ini jika memang Bara membuka peluang untuknya agar bisa memulai percakapan. Bukan berarti anaknya itu tidak pernah mau memulai pembicaraan, anaknya selalu basa-basi ketika bertemu, tapi memang cuma hanya sebatas basa-basi, tidak lebih.

Abian hanya ingin membuat hubungan keduanya selalu hangat, dan tidak ada kata canggung. Mengingat bagaimana hancurnya Bara saat istrinya meninggal, membuat Abian selalu merasa bersalah. Rasa bersalahnya selalu bertambah saat sadar bahwa ia tidak pernah bisa menggantikan peran Ibu bagi Bara. Yang hanya bisa ia lakukan, hanyalah berusaha menjadi Ayah yang lebih baik dari sebelumnya.

Abian tahu anaknya sudah besar, wajar jika mulai tertarik dengan yang namanya perempuan. Ia tidak akan melarang, sebisa mungkin ia akan mendukung dan berusaha untuk ikut mengenal gadis yang menjadi pacarnya.

Ia yakin bahwa gadis yang dibawa Bara ke rumah minggu lalu itu adalah pacarnya. Ia meyakini hal itu bukan tanpa alasan, tetapi dilihat dari gestur tubuh anaknya saat ia membahasnya, itu membenarkan segala spekulasinya yang pada awalnya ia sendiri masih ragu.

Bara berdehem membenarkan perkataan Abian. Pria yang berumur akhir kepala tiga itu langsung tersenyum bangga.

"Wihh, anak Ayah udah gede!" Abian menatap ke arah Bara dengan mata yang berbinar meski ekspresinya terlihat biasa saja.

"Weekend bawa dia ke sini ya. Ayah pengen ngobrol-ngobrol sama cewek yang bisa luluhin hati anak Ayah satu ini," Abian mengusap-usap rambut Bara dengan sedikit kasar, membuat rambutnya yang sebelumnya sudah tidak rapi menjadi semakin berantakan.

"Ayah apaan sih," Bara menggeser kepalanya menjauh, berusaha menghentikan tindakan Ayahnya yang menurutnya aneh dan absurd itu, beralih fokus kembali ke camilan yang ada di pangkuannya lagi, tanpa mau melihat ke arah Ayahnya. Sedangkan Abian hanya terkekeh pelan melihat anaknya salah tingkah.

"Lagian buat apa Ayah mau ngobrol sama Rea?" tanya Bara saat keduanya telah sama-sama diam dan fokus ke film lainnya yang baru diputar beberapa menit yang lalu.

"Ohh, jadi namanya Rea?" Bara memejamkan matanya, merutuki dirinya sendiri dalam hati yang bisa-bisanya menyebutkan nama Rea di hadapan Ayahnya. Sebenarnya bukan masalah besar, tapi dilihat dari reaksi Ayahnya saat tahu bahwa dia membawa Rea ke rumah dan bahkan telah memiliki pacar, sepertinya ini bukan pertanda bagus untuknya.

"Namanya bagus, anaknya juga cantik. Ayah jadi keinget Bunda kamu waktu masih muda," Bara sontak menoleh ke arah Abian yang menatap layar televisi dengan tatapan sendu dan senyuman tipis. Selalu itu yang ia lihat dari wajah Ayahnya setiap kali membahas perihal Ibunya.

Bara selalu kebingungan setiap kali membayangkan soal Ibunya. Sebutlah ia anak durhaka, tapi ia benar-benar tidak bisa mengingat satupun soal Ibunya selain kenyataan bahwa Ibunya telah meninggal dua tahun yang lalu.

Di dalam otaknya tidak pernah ada satupun kenangan bersama Ibunya. Ia hanya mengingat wajah Ibunya setelah beberapa kali melihatnya melalui foto yang dulunya selalu terpajang di setiap sudut rumah.

Iya, dulu. Karena sekarang, foto-foto itu harus terpaksa disingkirkan atas permintaan Ayahnya.

"Eh, maaf. Ayah bahas Bunda kamu lagi," seolah menyadari sesuatu Abian langsung menghilangkan ekspresinya tadi, berubah menjadi santai lagi setelah tampak tegang sesaat.

"Bunda waktu remaja juga cantik, Yah?" Abian kembali menunjukkan wajah tegangnya mendengar pertanyaan Bara. Selama ini setiap kali ia menyadari bahwa ia tak sengaja membahas Istrinya yang telah tiada dan meminta maaf pada anak sematawayangnya itu, anaknya selalu diam dan pamit pergi begitu saja. Mendengar anaknya menanyakan soal Ibunya untuk pertama kali membuatnya merasakan perasaan yang campur aduk.

"Iya, cantik," jawabnya singkat.

Entah jawabannya yang ia pilih benar atau tidak. Ia sebenarnya sangat ingin membanggakan Istrinya yang hebat itu, tapi apa boleh buat? Ia hanya bisa menjawab dengan singkat karena tidak ingin keduanya terlarut dalam pembahasan ini lebih jauh dan membuat hal yang tidak ia inginkan terjadi.

"Bara jadi pengen ketemu Bunda," satu kalimat sederhana yang keluar dari mulut Bara benar-benar bisa meremas hati Abian. Mata pria itu bergetar dan sedikit berair. Perasaan bersalah mendalam yang sudah lama tak menghantuinya tiba-tiba datang lagi menghampirinya.

Abian mengulum bibirnya, menahan agar matanya tak menghasilkan lebih banyak air dan membuatnya meneteskan air mata.

"Besok sekalian ke makam Bunda kamu aja. Ajak Rea juga," Abian menyahut setelah dirasa lebih tenang, sembari menatap anaknya yang masih fokus ke layar televisi.

Keduanya diam setelah Bara mengangguk menanggapi jawaban Ayahnya. Entah kenapa, suasana diantara keduanya menjadi tidak nyaman setelah membicarakan mendiang Ibunya.

"Ayah ke atas dulu. Mau lanjut kerja," Abian menepuk paha Bara sebelum ia berdiri dan meninggalkan ruang tengah. Bara hanya memperhatikan sosok Ayahnya yang menjauh sebelum kembali menatap ke arah televisi.

Memang benar tatapannya mengarah ke arah televisi yang memutarkan film. Tapi tidak dengan pikirannya yang melayang kemana-mana. Kepalanya penuh dengan segala rasa penasaran terhadap mendiang Ibunya.

Ia selalu merasa asing apabila teringat tentang mendiang Ibu Bara.

To be continue...

•••••

Udah 1 M aja matanya😍
Terima kasih ya semuanya
semoga kedepannya lusi bisa update lebih cepet lagi🤗

Am I Antagonist? Where stories live. Discover now