Terminal Dua

9 0 0
                                    

Jakarta, Januari 2022.

Beberapa bulan sebelumnya Pasha bilang mau pulang, saat itu aku hanya mengiyakan dan mencoba tidak berharap lebih. Dia sempat menjanjikan oleh-oleh dari sana tetapi aku hanya berkata boleh saja. Kata-kata itu aku kirim begitu saja karena perkenalan kami pun hanya sebatasnya. Walau jujur dari dalam hati aku sempat berharap kami akan sempat mengenal lebih untuk siapa tahu kami bisa berjalan bersama. Tapi ya sudah, ternyata dia menutup pintu sebelum aku sempat masuk ke rumah hatinya.

"Hey, i grab u something"

Beberapa hari yang lalu dia mengirimiku pesan yang akhirnya membawaku dalam perjalanan ini. Panasnya Jakarta siang ini harus memaksa toyotaku mengitari jakarta ke bagian barat. tapi lagu-lagu yang terdengar dari pengeras suara mobilku cukup menghibur ditengah riuhnya kota ini. 

Ini hari terakhirnya di kota ini sebelum berangkat kembali ke negara tempatnya ia bekerja. Dia merampungkan beberapa pekerjaan disini untuk nantinya kembali ke negara indah itu. Kujawab bisa saat dia menanyakan apakah bisa bertemu untuk sekedar memberiku oleh-oleh katanya.

Ini pertemuan pertama kami.

Aneh bukan? kupikir kalian akan mengira cerita ini berasal dari dua orang yang pernah saling mencintai atau semestinya. Tetapi bukan, ini cuma tentang aku sendiri dan dia. 

Aku sempat mengaguminya dahulu. Di suatu kegiatan yang mengharuskan kami sebagai peserta untuk rutin datang dan bertemu, tapi saat itu kami tidak sempat untuk berbincang. Atau aku yang terlalu malu untuk sempat berkenalan. Tapi aku tahu dirinya, dia cukup menonjol saat itu. Dan tentunya itu sedikit mengusik untuk wanita kompetitif sepertiku. Tapi malah berakhir pada rasa suka.

Pasha, seseorang yang biasanya duduk di pojok ruangan, berkemeja coklat dan hanya diam tanpa teman. Aku sempat bertanya-tanya dia siapa dan darimana karena dalam kegiatan ini aku mengenal beberapa teman dan biasanya aku cukup bisa menganalisa seseorang dari kampus mana. Tapi dia cukup aneh. Aneh dalam artian karena aku tidak mengerti darimana dia berasal.

Corona-ku memasuki parkiran bandara dan parkir rapi bersama teman-temannya. Kulihat handphoneku sejenak untuk mengabarinya bahwa aku sudah sampai. Sebenarnya diperjalanan aku sempat agak segan untuk datang karena dia mengulur-ulur waktu untuk bertemu. Sempat terpikir untuk putar balik dan pulang ke rumah daripada menyita waktu karena cukup jauh untuk aku sampai di bandara. Tapi yaa, here i am. Soekarno Hatta.

Aku sempat kesulitan karena dia sempat kebingungan dengan keberadaannya sendiri. Tapi akhirnya kami bertemu di depan franchise kedai kopi terkenal yang semestinya semua orang tau. 

"Heyy?!"

Kataku sambil menunjuknya memastikan.

Sebenarnya aku sempat melihatnya dari kejauhan. Aku cukup tau punggung itu. Beberapa waktu yang kami habiskan dalam acara itu cukup membuatku tau dia. Apalagi aku sempat menyukainya. 

"Haloo"

Katanya.

Dia masih sama seperti ingatanku. Proffesor Money Heist aku menyebutnya. lelaki berpawakan lumayan tinggi juga tampan. Kacamata yang menutupi mata indahnya dan rambutnya yang agak bergelombang. Ini benar Pasha, batinku. Dia tersenyum cerah

"U said bring me something, mana?" Seruku antusias kepadanya. ditengah riuhnya terminal dua soekarno hatta waktu itu.

"Hahahaha ini" 

katanya memberikan syal berwarna biru muda. cantik sekali. 

"Thanks yaa, btw aku bawain makan tadi sempet masak"

Bohong. 

Aku memang sengaja memasak untuknya dan berfikir bagaimana agar apa yang aku berikan tidak terlalu ketara bahwa aku niat untuk memberikan makanan ini kepadanya. Aku juga ingin memberikan sesuatu yang aku buat memang untuknya.

"Waaah, makasih lho. Eh ada tumblernya? ini dari produkmu itu ya"

Shit. Aku sedikit tersentak. Kupikir dia tidak memerhatikan kehidupanku. Aku menjalankan bisnis untuk barang-barang hasil dari gambaranku. Sampingan untuk mencari pundi-pundi memang. Ada beberapa produk yang aku jual yang sekiranya memang aku suka dan kupikir orang lain akan suka. Tetapi ternyata banyak sekali orang yang menyukainya.

"Ehh iyaa" Kataku

Setelah itu kami berbincang.

Kupikir pertemuan kami akan sekedarnya. Dia memberiku oleh-oleh, aku memberikan makanan sebagai tanda balik terimakasihku, lalu pulang. Tapi ternyata dia sempat membuka beberapa pertanyaan juga pernyataan bahan kami mengobrol. 

Kupikir dia orang yang dingin, tetapi dia bisa mengobrol dan bercerita juga.  Karena percakapan kami di social media seringnya membuatku jengah sendiri dan lelah karena terasa berjalan satu arah saja walau pada akhirnya dia juga menjelaskan sebabnya. Tetapi kupikir dia tidak akan berkenan untuk sempat berbincang denganku. Apalagi dia sempat tahu bahwa aku sempat menyukainya (walau sekarang aku sudah biasa saja).

Aku terenyuh karena kupikir dia tidak mengerti kehidupanku. Aku cukup sering membagikan apa yang aku lakukan ke social media. Kulihat memang dia sempat melihatnya, tetapi kupikir dia hanya melihat tanpa mengingatnya. Cukup menyenangkan mendengar perkataan orang tentang kita juga berarti bahwa dia mengingat hal-hal yang bisa jadi tidak penting. Sangat terasa dihargai. Ini bisa rumit, batinku. Karena aku sempat mengaguminya.

Kami menghabiskan beberapa waktu hingga tak terasa matahari sudah mulai sayu. Dari ceritanya tentang proyeknya yang gagal hingga tips-tips di dunia kerja yang ternyata dia ada tololnya juga.

"Sudah jam berapa?"

tanyanya setelah kami selesai tertawa. Renyah sekali tawanya asal kalian tau.

"ohh jam lima, udah mau terbang?"

"iya habis ini, kuantar kau dulu ke mobil"

Orang gila. bukankah seharusnya aku yang mengantarnya pergi karena dia yang akan pergi? Baik sekali orang ini.

"Ngapain? gausah, parkirannya juga jauh banget" kataku agak memaksa

"Yaudah sekalian jalan-jalan, kan kemarin ngga jadi jalan-jalan" katanya tertawa sambil berjalan

"Hahahaha jalan-jalan di bandara?" 

Beberapa hari sebelumnya aku mengajukan diri menanyakan apakah mau ditemani jalan-jalan lagi di Jakarta setelah dia pergi yang siapa tau dia ingin mengunjungi suatu tempat. Tetapi akhirnya juga tidak bisa kami lakukan karena dia ternyata banyak sekali hal yang harus dirampungkan. Padahal malam sebelumnya aku sudah melakukan ritual kebanyakan wanita yang hendak menemui pria kesukaannya (yang dalam kasusku ini "pernah" menjadi kesukaannya). Aku juga tidak mengerti mengapa sempat ada perasaan sedikit bersemangat.

Malam itu aku memilih outfit tercantik yang sekiranya nyaman juga pantas ketika akan bertemu seseorang, bahkan juga sempat mencuci satu dress karena aku merasa cantik ketika memakai dress itu. 

Tetapi ternyata dia mengabari pagi harinya bahwa pekerjaannya mengharuskannya untuk tetap disana. Jadi yasudah, kumasukan lagi dress itu ke almari. Dan hari ini aku hanya memakai baju santai seperlunya yang kupikir tidak terlihat niat-niat amat tetapi yaa aku juga sempat menghabiskan beberapa waktu untuk memasangkan bajuku hari ini.

Aku beranjak mengikutinya berjalan. Jarak antara tempat kami berbincang dan tempat toyotaku terparkir cukup jauh, bisa untuk kami mengobrol beberapa topik. Mengenai bagaimana menyesalnya ia harus tetap bekerja disaat pulang, juga mobil tua yang kusuka. Menyenangkan sekali.

Cerita hari itu usai.

Setelah itu aku hanya mengingat bagaimana aku menangis dibawah balutan gedung-gedung indah jakarta pusat juga mentari yang ikut pergi menenggelamkan diri. Menyesali diri dan mengutuk hati mengapa perasaan yang lalu itu datang lagi. 

Rasa itu begitu terlihat jelas setelah aku mendengarnya berbicara dan tertawa, kebaikan sikap dan hati, juga tentang cerita-ceritanya yang sebenarnya aku ingin dengar lebih banyak.

Aku menyesal datang sore ini, Pasha. 

Menyesal tau bahwa ada pria seperti dirimu tetapi aku tidak bisa dan bahkan sudah dipaksa 'pulang' sebelum aku sempat mencoba berjalan bersamamu.


The Sunset is beautifull, isn't it?Where stories live. Discover now