2. Penolakan

38 4 0
                                    


Azzam teringat kejadian beberapa tahun lalu saat ia hanya bisa menunduk dalam diam di depan Haji Zainal. Kalimat Haji Zainal membuat hatinya terasa teriris-iris. Ia memang pernah menduga penolakan ini akan terjadi. Namun, Sekar cukup memberikan keyakinan kepadanya, bahwa gadis itu juga memiliki perasaan yang sama terhadap Azzam. Setelah mengumpulkan keberanian sejak beberapa minggu, ia memilih kamis sore di awal bulan Rajab. Setelah mencium tangan mamaknya, Azzam berangkat dengan hati berbunga.

Sedari madrasah ibtidaiyah, Azzam memang memiliki perhatian khusus terhadap Sekar. Ia gadis yang lemah lembut dan juga ramah, tak pernah segan bergaul dengan orang rendahan seperti dirinya. Hatinya penuh kebaikan dan tak membeda-bedakan teman berdasarkan status sosial. Mereka berkawan sejak di madrasah ibtidaiyah, juga teman mengaji di surau Ustadz Umar.

Perasaannya semakin lama semakin bersemi. Apalagi saat ia kerap dipercaya untuk mengambil jaring atau alat-alat kapal di halaman belakang rumah Haji Zainal. Tanpa sengaja, keduanya kerap bertemu. Sekar juga sering tampak bersemu merah saat memperhatikan Azzam dari jauh saat lelaki itu bekerja di halaman rumahnya. Sesekali mereka saling melempar senyum dan jika ada kesempatan akan meluangkan waktu untuk bertegur sapa dan berbincang.

Hingga suatu hari setelah Azzam merasa cukup dekat, ia memberanikan diri bertanya kepada Sekar. Adakah Sekar memiliki perasaan yang sama kepada Azzam? Sekar mengangguk, dengan kepolosan gadis berusia lima belas tahun itu mengakui bahwa ia mulai menyukai Azzam sejak Azzam membaca Al Quran dengan tartil di surau Ustadz Umar. Sekar tersentuh dengan suara Azzam yang merdu dan membuatnya selalu terngiang-ngiang.

Hati Azzam tentu saja melambung. Pucuk dicinta ulampun tiba. Azzam kemudian memberanikan diri meminta Sekar untuk menunggunya. Hingga tiba masa Azzam memiliki keberanian dan penghasilan yang pantas untuk meminangnya. Kedua anak manusia yang belum banyak mengecap dunia itu pun mengikat sebuah janji untuk saling memantaskan diri.

Saat itu, usia Azzam masih tujuh belas tahun. Ia baru saja belajar bekerja. Upahnya sebagai juru panggul ikan tentu belum dapat dianggap layak untuk meminang seorang gadis manapun. Meski tak berapa lama setelahnya, ia diberi kepercayaan oleh Haji Zainal untuk ikut melaut. Penghasilannya mulai membaik, apalagi Azzam cukup rajin dan bisa membawa diri. Nahkoda kapal sangat menyukainya.

Setelah ia menimbang, maka hari yang ia pilih untuk menunaikan janji pada Sekar akhirnya datang juga. Di bulan Rajab, ia memberanikan diri melamar anak bungsu Haji Zainal. Namun, apa hendak dikata niat baik dan basmalah tak mampu meluluhkan hati Haji Zainal untuk memberinya kepercayaan menjaga Sekar.

"Kau belum pantas mempersunting putri kesayanganku. Meski ia terpesona dengan suaramu melantunkan ayat suci, tetapi kehidupan nyata lebih dari itu. Membina keluarga tidak hanya butuh cinta dan kekaguman, tapi perlu ditegakkan dengan penghasilan dan kesejahteraan. Aku belum bisa mempercayakan anakku kepada anak buah kapal macam kau."

Kalimat yang dipilih oleh Haji Zainal untuk menolak pinangan Azzam mengiris hati Azzam dengan pelan. Suara Haji Zainal sama sekali tak terdengar marah, mungkin ia hanya menganggap Azzam sedang bersenda gurau dengan nasibnya. Ia tidak menduga, anak lelaki yang bekerja di kapalnya berani melamar anak gadisnya. Haji Zainal tak terlalu mau ambil pusing dengan perasaan Azzam ataupun Sekar. Menurutnya, remaja dengan pemikiran yang belum banyak makan asam garam kehidupan tak perlu dipertimbangkan.

"Bekerjalah dengan baik, Zam. Kalau pun Sekar akan kunikahkan, mungkin bukan dengan ABK atau orang di kampung ini. Ia setidaknya akan bersuamikan pegawai negeri."

Haji Zainal menepuk-nepuk pundak Azzam sebelum beranjak, meninggalkan Azzam yang hatinya remuk redam. Azzam menunduk, menahan nyeri yang berdenyut-denyut di dalam dadanya.

PEREMPUAN YANG MENCINTAI HUJANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang