"Silakan masuk, tuan putri." Layaknya seperti pengawal, Artan membukakan pintu mobil untuk Arika dan sedikit membungkukkan tubuhnya.

"Telima kasih, latu pisang masuk duluan ya," ucap Arika bangga dengan kedua belah tangan sibuk membawa buah pisang serta susu pisang yang ia minta pada Artan tadi.

Artan ikut masuk ke sana dan setelah memastikan adiknya duduk dengan nyaman, Artan langsung melajukan mobilnya. Ia memilih menyupir sendiri, karena benar-benar ingin menghabiskan waktu bersama adik tercintanya yang sekarang tengah asik menikmati buah pisang.

"Jangan dimainin seatbelt-nya."

"Iya Abang, nggak dimainin lagi kok."

"Rotinya dimakan," ujar Artan menunjuk pada tempat makanan yang sudah ia isi dengan roti berselai coklat, persis seperti kesukaan adiknya.

Arika menganggukkan kepala masih dengan mulut yang penuh oleh pisang. Cepat-cepat ia meraih roti di dalam tempat itu dan hendak memasukkan ke dalam mulutnya, tetapi nasehat dari Artan menghentikan pergerakan Arika.

"Pelan-pelan makannya."

"Ndak bisa pelan-pelan, Alika lapal banget Abang." Tanpa perlu waktu lama, kini gadis itu sudah memakan rotinya. Bahkan, sudah tinggal setengah saja.

Melihat sang adik yang tampaknya memang sangat lapar itupun membuat Artan menggelengkan kepala tidak percaya. Padahal seharusnya tadi ia memaksa Arika saja untuk sarapan dulu.

Tanpa banyak bicara lagi, Artan pun mengarahkan mobilnya menuju sebuah tempat makan.

"Ayo turun, kita sarapan dulu," intrupsinya seraya membukakan seatbelt di tubuh Arika.

Arika menatap bangunan mewah di depannya, lalu menggelengkan kepala cepat. "Alika mau makan pecal ayam, Bang."

Artan mengerutkan alisnya bingung.

"Di tempat makan sama ayah bunda itu loh Bang," ujar Arika mencoba mengingatkan Artan pada tempat makan yang entah sejak kapan sangat disukainya. "Yang kalo ayah sama bunda sukanya pecel lele, Alika pecal ayam."

"Kita sarapan bubur aja ya, sekarang masih pagi. Nanti kamu sakit perut lagi, karena makan sambal." Artan mencoba membujuk adiknya, tetapi sepertinya tidak akan berhasil. Terlihat dari Arika yang langsung dengan cepat menggeleng, pertanda tidak setuju dengan usulan abangnnya.

"Udah lama Alika nggak makan pecal ayam. Pokoknya kita salapan pecal ayam ya, Bang!"

"Perasaan baru tiga hari yang lalu ayah sama bunda ngasih tau abang soal kalian yang makan di tempat itu," jelas Artan masih kebingungan.

"Alika ketagihan Abang, soalnya lasanya itu, enaj banget! Walaupun lebih enakan pisang sama susu pisang Alika."

"Ya udah, kita ke sana. Tapi Arika janji dulu sama Abang," ujarnya seraya menatap manik sang adik yang sekarang tampak berbinar senang.

"Janji apa?"

"Janji nggak boleh makan sambal banyak-banyak, oke?"

Arika langsung mengangguk antusias, itu masalah kecil. "Janji, tapi kalo nggak lupa ya, Bang. Telus juga, Alika nggak janji buat nggak nambah ayamnya, ya. Kalo makan satu doang, kulang Bang."

Artan menggelengkan kepalanya seraya terkekeh, ada-ada saja kelakuan adiknya yang satu ini. Setelah mendapat alamat rumah makan yang Arika inginkan dari sang ayah. Tanpa membuang waktu, Artan langsung melesatkan mobilnya ke tempat tujuan.

Pagi ini, seluruh anggota keluarga Artawijaya terlihat sibuk sekali.

Arjuna yang tidak kunjung menemukan kaos kakinya dan sang bunda yang menemani Arjuna mencari kaos kaki anaknya. Sedangkan sang kepala keluarga, tampak cemberut dengan pakaian harian biasa.

What should we do? Where stories live. Discover now