Moon Jaehyun, Senior Researcher yang dikenal berintegritas, kehilangan peluang besar menjadi Staf Ahli Kementerian karena rumor yang tak pernah ia klarifikasi - tentang hal yang seharusnya tak jadi syarat apapun. Di tengah dunia politik yang penuh i...
"Aku kira... tidak perlu menyela kalau seseorang sedang fokus dengan dokumennya," jawab Rose tenang.
"Benar juga." Jaehyun menutup map di tangannya dengan satu gerakan cepat. "Tapi kadang orang yang terlalu tenang justru bikin curiga."
Rose akhirnya menoleh. Wajahnya datar, tapi matanya menyimpan kilatan yang hanya Jaehyun bisa kenali—karena ia pernah berenang di sana terlalu dalam, terlalu jauh.
"Kalau kau curiga, periksa saja ID-ku," ucap Rose, sedikit menantang.
Jaehyun menatapnya. Lama. Detik yang seharusnya biasa, terasa seperti tarik-ulur napas terakhir sebelum terjun dari ketinggian. Tapi pada akhirnya, ia hanya mengangkat bahu dan menyelipkan mapnya ke dalam tas kerja.
"Aku bukan bagian dari tim pengamanan," katanya akhirnya.
Rose mengangguk pelan. "Syukurlah."
Jaehyun berjalan melewatinya, hanya berjarak beberapa jari. Bahu mereka nyaris bersentuhan. Saat langkahnya hampir menghilang di ujung lorong, Rose mendengar suara pelan itu lagi—dingin tapi membakar.
"Kau pakai parfum yang sama," bisik Jaehyun tanpa menoleh.
Rose berdiri membeku, bibirnya nyaris terangkat... lalu jatuh kembali ke posisi netral. Ini bukan saatnya untuk goyah. Bukan saatnya untuk gila.
Tapi dia tahu. Dan Jaehyun juga tahu.
Mereka saling mengenal lebih baik dari yang bisa diucapkan.
***
Setelah jam kerja, pantry kecil di ujung koridor itu terasa lebih hangat dari biasanya. Microwave berdengung di sudut ruangan, sementara aroma sisa kopi dan mie instan masih menggantung di udara.
Rose menyandarkan tubuh ke meja bar kecil, tangannya memegang mug teh yang sudah dingin. Di sebelahnya, Yoona dan Bora tertawa pelan sambil membahas hal-hal ringan—dari riasan terbaru hingga keluhan soal suhu AC yang "mood swing"-nya ngalahin manusia.
"Eh," Yoona menurunkan suaranya, melirik ke pintu. "Kalian pernah denger nggak sih... soal Kang sama Jaehyun?"
Rose menoleh ringan, pura-pura acuh sambil menyeruput tehnya.
Bora mengerutkan dahi, "Maksudnya?"
Yoona melirik dramatis, lalu setengah berbisik, setengah menahan tawa, "Katanya... si Jaehyun itu gay. Makanya dulu ngedeket banget sama Kang. Gimana sih, kaya nempel terus gitu. Tiap istirahat makan bareng, lembur bareng, pokoknya susah dipisah."
Tawa kecil keluar dari Bora, tapi Rose hanya diam. Ia mengangkat alis, berusaha ikut tersenyum, tapi bibirnya terasa kaku.
"Hah?" gumam Rose, suaranya lebih pelan dari niatnya. "Serius?"
Yoona mengangkat bahu. "Ya, gosip sih. Tapi yang ngomong itu si Namjun dari lantai empat. Katanya udah lama denger. Sebelum sekarang bersitegang"
Rose mengangguk perlahan, matanya kosong menatap uap teh yang nyaris hilang. Di dalam kepalanya, semua momen singkat dengan Jaehyun berputar ulang. Tatapan yang seolah mengenal, keheningan yang menekan di ruang arsip sore tadi.
"Aku kira dia... bukan tipe yang kayak gitu," ucap Rose akhirnya, entah kepada siapa.
Bora menyenggol lengan Rose dengan siku, "Kamu suka dia, ya?"
Rose terkekeh cepat, terlalu cepat. "Nggak lah. Aku cuma... kaget aja. Nggak nyangka."
Yoona ikut tertawa, lalu beranjak mengambil puding dari kulkas. Obrolan segera berpindah ke hal lain—diskon di minimarket dan drama terbaru di Netflix.
Tapi Rose tak banyak bicara setelah itu. Tehnya tetap tak habis. Di matanya yang menatap kosong ke arah neon pantry, satu perasaan samar mulai muncul—semacam retakan. Kecil, nyaris tak terlihat, tapi terasa.
***
Lampu-lampu ruang komputer menyala redup, menyisakan hanya cahaya dari monitor-monitor di meja yang berjajar rapi. Pendingin ruangan berdengung konstan. Di luar, kantor sudah sepi. Jam menunjukkan pukul delapan malam lewat.
Rose duduk sendirian di salah satu bilik kerja, mengenakan kacamata baca yang jarang ia pakai, rambutnya diikat asal agar tak mengganggu pandangan. Jari-jarinya cepat menari di atas keyboard. Login berhasil.
Tampilan dashboard sistem internal kementerian muncul—tampilan lawas dengan antarmuka kuno, warna biru pudar dan font Times New Roman yang terasa dari era 2000-an. Ia membuka folder demi folder, memulai dari bagian logistik proyek jalan tol di wilayah tengah.
Tabel-tabel angka muncul. Stok material. Estimasi pengiriman. Biaya per kilometer. Tapi data yang dia cari—rincian vendor dan arus dana—terkunci.
"Akses hanya dapat diberikan oleh Supervisor Area atau Direktur Divisi."
Rose menghela napas panjang, matanya menatap peringatan di layar dengan dingin. Ia mencoba menelusuri jalur lain: dokumen lampiran fisik yang sudah dipindai. Beberapa file masih tersedia dalam bentuk PDF hasil scan. Ia bandingkan dengan catatan laporan yang sempat ia lihat di ruang arsip.
Dan di situlah ia menemukannya.
Satu invoice bertanggal 6 Juni 2023 menyatakan pembelian 300 ton aspal dari perusahaan bernama Hanlim Supply Co. Namun di sistem digital, entri untuk hari yang sama menunjukkan 0 transaksi keluar.
Dahinya mengernyit. Tangannya bergerak cepat membuka dokumen lain, berharap ini hanya kekeliruan pencatatan. Tapi semakin dalam dia menelusuri, semakin banyak anomali muncul—nomor kontrak yang tidak konsisten, perbedaan angka antara laporan fisik dan digital, bahkan tanggal pengiriman yang tak masuk akal.
Rose duduk diam. Kacamatanya ditarik turun, matanya memejam sejenak.
Ini lebih besar dari dugaan awalnya. Lebih dalam. Lebih sistematis.
Ia membuka catatan kecil di samping keyboard dan mulai mencoretkan pola-pola awal. Nama vendor, tanggal, total anggaran, tanda-tanda duplikasi. Data mentah yang belum punya makna—tapi menyimpan lubang.
Tangannya sedikit bergetar, tapi bukan karena takut. Ini murni adrenalin. Sesuatu dalam dirinya menyala.
"Kalau ini rekayasa, mereka benar-benar tahu cara menutup jejak."
Rose menghembuskan napas pelan. Tak satu pun file bisa disalin ke perangkat pribadi. Tak ada USB yang bisa digunakan. Semua hanya bisa dibaca dan dicatat manual—dengan risiko ketahuan jika terlalu sering mengakses file yang sama.
Ia mematikan layar, merapikan kembali tempat duduk, lalu berdiri. Tapi sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi ke arah komputer yang masih berpendar biru. Matanya tajam.
"Kalau kalian bisa menutupi ini, aku juga bisa menemukan cara untuk membongkarnya."
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.