Part 2 - Secrets in the Archive

Start from the beginning
                                        

Suasana ruang rapat A siang itu jauh dari tenang. Rapat bulanan yang seharusnya berlangsung dengan nada administratif berubah menjadi ajang silang pendapat antar direktorat.

Direktur Jenderal Transportasi, Lee Jongwook, membuka diskusi dengan mengangkat isu lama—kondisi Chungju Dam yang sudah beberapa kali menyebabkan genangan dan kecelakaan lalu lintas di musim hujan.

"Ada rencana kajian ulang untuk itu di awal tahun ini?" tanyanya kalem, meski tatapan matanya mengisyaratkan urgensi.

Beberapa kepala menoleh ke pihak Direktorat Infrastruktur. Tak satu pun langsung menjawab. Hingga akhirnya, Direktur Kim Geunhye berbicara, "Tahun ini kami refocus pada proyek strategis seperti GOR Busan, pasar modern di Goyang dan Changwon, serta rusun-rusun di Anyang dan Incheon," ujarnya datar.

"Penetapan tersebut dilakukan dengan pertimbangan dampak dan kelayakan," tambah staf ahli infrastruktur yang duduk di sebelahnya.

Direktur Lee menghela napas pendek. "Tapi bukankah keselamatan publik seharusnya menjadi prioritas utama?"

"Sudah tentu. Tapi saya rasa, ini bukan rapat internal direktorat."

Pertukaran itu cukup menegang, tapi tensi meningkat ketika Jaehyun, yang duduk di kursi staf ahli bidang transportasi, akhirnya angkat suara.

"Saya tidak bermaksud menyerang, tapi data dari North Chungcheong menunjukkan 20 kecelakaan sedang dan 5 berat dalam empat bulan terakhir. Itu belum termasuk insiden ringan. Kerusakan saluran air pasca 2020 menunjukkan urgensi rehabilitasi Chungju Dam."

Ia menatap langsung Direktur Kim.

"Bukan berarti proyek lain harus dieliminasi. Tapi saya yakin ini bisa dikerjakan tanpa mengorbankan refocusing besar."

Nada bicaranya mulai meninggi. Sesuatu dalam dirinya—idealisme, kemarahan, atau mungkin luka lama—terlihat menguasai nalar.

"Anda bilang pembangunan GOR itu mendesak untuk bidding FIFA 2030, tapi apa itu lebih mendesak dari nyawa warga?"

Ruangan hening. Seketika.

Hanya suara AC dan jentik pena yang terdengar. Hingga Direktur Lee akhirnya menengahi, membawa perdebatan itu kembali ke jalur diskusi konstruktif.

"Yang Jaehyun maksud adalah, jangan sampai kita kehilangan alternatif hanya karena terlalu terpaku pada prioritas lama. Mari kita pertimbangkan substitusi, bukan eliminasi."

Beberapa menit kemudian, rapat ditutup. Direktur Kim memberikan pernyataan final yang diplomatis.

Begitu semua peserta mulai membubarkan diri, Jaehyun berjalan keluar, masih dengan napas belum sepenuhnya stabil. Tapi langkahnya terhenti begitu matanya menangkap sosok yang sedari tadi diam—terlalu diam untuk seorang staf ahli baru.

Song Kang berdiri dengan tubuh santai, satu tangan menyelip di saku jasnya, senyum tipis menggantung di bibir.

"Katanya staf ahli. Kenapa cuma diam?" sindir Jaehyun tajam.

Song Kang menyahut ringan, "Bicara denganku, Jae?"

"Kalau ingin bicara, jangan diam saat dibutuhkan."

"Aku tidak mencuri ide siapa-siapa, kalau itu yang kau pikirkan."

"Lucu. Kau pikir aku masih peduli dengan alasanmu?"

"Masih sensitif rupanya. Padahal kita sudah minum bersama, bukan?" Song Kang tetap tenang, bahkan terdengar iseng.

Jaehyun tertawa sinis, pendek. "Kalau bukan karena Mark, aku sudah angkat kaki waktu itu."

Bootless ErrandWhere stories live. Discover now