30. Ja'far Bin Abu Thalib Ra❤

Start from the beginning
                                    

Najasyi terdiam beberapa saat, merenungi penjelasan Ja'far yang panjang lebar tersebut. Kemudian ia berkata, "Apakah kalian bisa membacakan sedikit dari ajaran kalian kepadaku??"

"Bisa, tuan Raja, " Kata Ja'far.

Kemudian ia membacakan beberapa ayat-ayat awal dari Surah Maryam. Najasyi dan beberapa orang uskup dengan ta'dhim mendengar bacaan Ja'far, tanpa terasa mereka berurai air mata sehingga membasahi jenggotnya.

"Cukup," Kata Najasyi, "Sesungguhnya ini dan apa yang dibawa Isa benar-benar keluar dari misykat yang sama…"

Misykat adalah lubang di tembok tempat menaruh lampu, yang dari tempat itu cahaya menerangi seluruh ruangan. Dengan perkataannya itu berarti Najasyi mengakui bahwa Islam adalah agama wahyu, sebagaimana agama Nashrani yang dipeluknya.

Kemudian Najasyi berpaling kepada dua utusan Quraisy tersebut dan berkata, "Pergilah kalian! Sungguh aku tidak akan pernah menyerahkan mereka kepada kalian, tidak akan pernah !!"

Tak ada pilihan bagi keduanya kecuali pergi dari hadapan Najasyi. Tetapi Amr bin Ash sempat berkata pelan, "Demi Allah, besok aku akan mendatangkan mereka lagi dengan sesuatu yang bisa membinasakan mereka."

"Jangan lakukan itu," Kata Ibnu Abi Rabiah, "Bagaimanapun mereka masih kerabat kita walaupun merekamenentang kita…!!"

Tetapi Amr bin Ash tidak memperdulikan saran temannya tersebut. Esoknya ia menghadap Najasyi dan berkata, "Wahai tuan Raja, sesungguhnya mereka menyampaikan perkataan yang menyalahi Tuan dalam masalah Isa bin Maryam!!"

Sekali lagi Najasyi mengirim utusan memanggil kaum muhajirin tersebut untuk menjelaskan masalah Isa.Mereka menjadi kaget dan risau, bagaimanapun juga mengenai Isa bin Maryam menjadi masalah yang krusial karena jelas-jelas Islam menolak ketuhanan Isa bin Maryam. Sempat terpikir untuk mencari jawaban yang bisa menyenangkan Najasyi, tetapi akhirnya semua ditepiskan, tidaklah mereka akan mengatakan sesuatu kecuali kebenaran semata.

Ketika mereka dihadapkan dan Najasyi menanyakan hal tersebut, Ja'far berkata diplomatis, "Mengenai Isa bin Maryam, kami katakan seperti apa yang dinyatakan oleh Nabi SAW kami, bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, Roh-Nya dan Kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, sang Perawan Suci…"

Sebenarnya sama saja dan juga lebih mudah kalau dikatakan, "Isa bin Maryam bukan Tuhan". Tetapi itu akan langsung menghantam keyakinan Raja dan para pengikutnya. Di sinilah tampak kemampuan diplomatis yang dimiliki Ja'far bin Abu Thalib. Mereka telah siap dan pasrah atas keputusan dan kemarahan Raja Najasyi. Tetapi reaksi yang terjadi jauh di luar dugaan. Tiba-tiba Najasyi turun dari tahtanya, ia mengambil sepotong ranting yang ada di tanah dan berkata, "Demi Allah, Isa bin Maryam tidak melebihi apa yang kamu katakan, walaupun hanya sepanjang ranting ini. Kalian aman di sini, jika ada orang yang menghina dan mencerca kalian, dia akan menanggung denda. Aku tidak suka seandainya memiliki gunung emas, sedangkan aku menyakiti salah satu dari kalian."

Sebagian pembesar dan panglimanya tampak tidak senang dengan perkataan Najasyi, mereka mendengus marah. Najasyipun berkata, "Aku tidak perduli jika kalian marah, kembalikan hadiah yang diberikan oleh kedua orang itu (utusan Quraisy), Demi Allah, Allah tidak menerima suap dariku ketika Dia memberikan amanat kerajaan ini, karena itu aku tidak perlu menerima suap dalam urusan-Nya. Tidak juga Allah menuruti kemauan orang banyak dalam urusanku, sehingga aku tidak perlu menuruti kemauan kalian dalam urusanNya."

Dengan terpaksa mereka mengembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada dua utusan Quraisy, dan keduanya keluar dari majelis Najasyi dengan terhina.

Ja'far dan para muhajirin lainnya tetap tinggal di Habasyah sampai datang perintah Nabi SAW agar mereka segera berhijrah lagi ke Madinah, itu terjadi di bulan Dzulhijjah 6 H, atau Muharam 7 H. Tetapi sebelum mereka meninggalkan bumi Habasyah, Raja an Najasyi menyatakan dirinya memeluk Islam, sesuai dengan seruan Nabi SAW, di hadapan Ja’far bin Abu Thalib. Pada saat yang sama, Najasyi juga mengadakan ‘pesta’ pernikahan Nabi SAW dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Ia juga memberikan hadian dan perbekalan yang cukup melimpah kepada kaum muhajirin yang dipimpin Ja’far ini.

Dalam perjalanan hijrah ke Madinah ini mereka bersama-sama dengan Abu Musa al Asy'ari dan kaumnya, Asy'ariyyin yang berasal dari Yaman. Kaum Asy'ariyyin ini sebenarnya ingin menyertai Nabi SAW dan pasukan muslim lainnya yang akan menyerang kaum Yahudi di benteng Khaibar, tetapi perahumereka mengalami kerusakan dan terdampar di Habasyah beberapa hari lamanya.

Rombongan muhajirin ini bertemu dengan Nabi SAW yang baru pulang dari perang Khaibar, Nabi SAW langsung memelukJa'far dengan hangat dan berkata, "Aku tidak tahu, mana yang lebih menggembirakan aku, dibebaskannya Khaibar atau kembalinya Ja'far…!!"

Setelah itu Nabi SAW memberikan bagian ghanimah Perang Khaibar mereka semua.

Di Madinah, Ja’far berkumpul lagi dengan banyak sahabat dan kerabatnya yang memeluk Islam, termasuk kaum Anshar yang baru dikenalinya saat itu. Ada senang dan haru, tetapi juga ada sedih, karena sebagian dari merekatelah syahid di medan perang Badar, Uhud dan peperangan lainnya. Tiba-tiba saja muncul gairah dan kerinduan ketika mengenang mereka, gairah untuk menerjuni medan perjuangan dan syahid menyusul mereka, "Kapankah aku bisa berbuat demikian pula…??" Begitu angan-angannya.

Beberapa pertempuran kecil dan beberapa pengiriman pasukan setelah Perang Khaibar dan Umrah Qadha' belum bisa menutupi dan memuaskan gairah Ja'far untuk berjuang di jalan Allah, sampai tibanya Perang Mu'tah.

Pada perang Mu'tah, Nabi SAW menetapkan bahwa pimpinan pasukan adalah Zaid bin Haritsah, jika gugur digantikan oleh Ja'far bin Abu Thalib, dan jika ia gugur juga digantikan oleh Abdullah bin Rawahah. Dari apa yang dipesankan oleh Nabi SAW tersebut, Ja'far yakin betul bahwa kegairahan dan kerinduannya akan terpuaskan dalam pertempuran ini, karena beliau telah menunjuk penggantinya. Artinya, kerinduannya untuk menjadi syahid sebagaimana banyak sahabat dan kerabat lainnya pasti menjadi kenyataan. Semangatnya pun jadi makin menggelora.

Nabi SAW menyiapkan tigaribu tentara dalam pasukan Mu'tah tersebut, dan itu merupakan jumlah pasukan terbesar yang pernah dikirimkan Nabi SAW. Pasukan di bawah komando Zaid bin Haritsah ini bergerak ke arah Syam, Nabi SAW sendiri mengantar keberangkatannya sampai ke Tsaniyatul Wada'.

Setibanya di Mu'an, tak jauh dari Mu' tah, mereka mendapati kenyataan bahwa Pasukan Romawi yang harus mereka hadapi sejumlah seratus ribu orang, itupun masih ditambah tentara dari sekutu-sekutunya sejumlah seratus ribu orang, sehingga totalnya duaratus ribu tentara. Sungguh kekuatan yang sangat tidak berimbang.Pasukan muslim bermusyawarah, dan sempat memutuskanuntuk mengabarkan jumlah pasukan musuh kepada Nabi SAW, sambil menunggu petunjuk beliau lebih lanjut.

Tetapi pendapat tersebut ditentang oleh komandan lapis ke tiga, Abdullah bin Rawahah. Menurutnya, pertempuran ini adalah karena Allah dan Agama-Nya, bukan karena jumlah pasukan yang dihadapinya, Rasulullah SAW telah menetapkan pertempuran ini dan tugas mereka melaksanakannya. Apapun hasilnya adalah kebaikan semata, yakni kemenangan, atau gugur sebagai syahid. Pendapat ini yang akhirnya disetujui secara aklamasi.

Pertempuran-pun berlangsung seru, jumlah yang sedikit tidak mematahkan semangat perjuangan mereka, dan tidak berarti menjadi mudah bagi pasukan Romawi untuk menaklukan pasukan muslim. Ketika akhirnya Zaid menemui syahidnya, Ja'far segera mengambil panji peperangan dari tangan Zaid, dan terus menghambur menyerang musuh. Ketika gerakan kudanya makin terbatas sehingga tidak leluasa berperang, ia turun dari kudanya yang bernama Syaqra' dan melukai kaki kudanya. Ia tidak ingin kudanya tersebut lari dari medan pertempuran, selagi tuannya masih terus berjuang. Ia adalah orang pertama yang melakukan hal tersebut.

Sebagian riwayat menyebutkan, Ja’far tidak turun, tetapi terlemparjatuh dari kudanya karena begitu semangatnya, dan ia meneruskan perjuangan dengan berjalan kaki. Tangan kiri memegang panji dan tangan kanan terus menyerang musuh tanpa ampun. Ketika tangan kanannya putus terkena senjata lawan, ia mengepit panji dengan sisa tangan kanannya, dan tangan kirinyameraih pedang untuk meneruskan menyerang musuh. Ketika tangan kirinya juga terputus kena pedang lawan, iaberdiri tegak mempertahankan panji agar tetap berkibar, sampai akhirnya senjata lawan bertubi-tubi menyerangnyahingga dia gugur sebagai syahid, gugur dengan senyum tersungging karena gairah dan kerinduannya terpuaskan. Panji peperangan diambil alih Abdullah bin Rawahah untuk meneruskan perempuran.

Ketika Nabi SAW diberitahu tentang kondisi tubuh Ja'far bin Abu Thalib tersebut, beliau mengatakan bahwa Allah menganugerahinya dua sayap di surga sebagai pengganti tangannya tersebut. Karena itu, Ja'far juga digelari dengan 'ath Thayyar' (penerbang) atau 'Dzul Janahain' (orang yang memiliki dua sayap).

The Real Heroes in My LifeWhere stories live. Discover now