BAB TIGA PULUH DUA

Start from the beginning
                                    

"Enggak, nggak boleh, Mommy nggak boleh pergi ...," mohon Raiden yang tanpa mereka sadari telah melihat dan mendengar perdebatan mereka sedari tadi.

Mengepalkan jemarinya dan mengatupkan rahang, pertahanan Dera hampir runtuh ketika pelukan Raiden kian mengerat.

"Lepas," titah wanita itu tegas, berusaha menampik jauh perasaannya, kendati ia begitu berat untuk pergi.

"Nggak mau ... Mommy nggak boleh pergi ..." Raiden menggeleng-geleng, kembali memohon. Pelukan pemuda itu bertambah erat.

Jansen dan Jean yang tengah mencari Raiden karena tak kunjung kembali pun terkejut melihat apa yang tengah terjadi di tempat. Keduanya lantas berlari mendekat, menatap sang ayah dan adiknya bergantian.

"Raiden, kenapa ini?" tanya Jansen, membuat Raiden kontan menoleh sesaat.

"Mommy nggak boleh pergi, Kak, Mommy nggak boleh tinggalin kita ...," ujar pemuda itu dengan mata berkaca-kaca.

"Lepas, Raiden," titah Dera lagi, namun tak dihiraukan oleh Raiden.

"Nggak mau. Raiden sayang Mommy, Raiden nggak mau Mommy pergi ..."

Menggigit bibir dalamnya, Dera mulai tak kuasa menahan lelehan air matanya. Karena Raiden kian mengeratkan pelukannya, wanita itu terpaksa melepas paksa tangan Raiden.

"Saya bilang lepas, Raiden," serunya, mendorong tubuh kecil itu menjauh darinya, lalu segera meneruskan langkah untuk secepatnya pergi dari sini.

Mendengar bentakan serta apa yang dilakukan Dera barusan membuat Jayden, Jansen beserta Jean terkejut, segera menahan tubuh Raiden agar tidak terjatuh.

Bahu mereka meluruh, menatap punggung sempit sang ibu dengan tatapan sendu.

"Mommy nggak boleh pergi, Kak, Mommy nggak boleh pergi ...," teriak Raiden mulai menangis, pemuda itu menyentak lengannya yang ditahan oleh kedua kakaknya.

"Raiden, stop. Cukup. Jangan begini," cegah Jean, menggeleng pada sang adik.

Tangis Raiden kian deras, pemuda itu menggeleng beberapa kali. Ia tidak ingin kehilangan sang ibu, tidak untuk kedua kalinya.

"Lepas! Kalau Kakak nggak mau bantu cegah Mommy, nggak usah tahan aku!" teriak pemuda itu berusaha melepas cekalan kedua kakak laki-lakinya.

"Raiden, udah. Berhenti. Mommy udah pergi, mau kamu tahan sekeras apapun kalau Mommy maunya pergi, Mommy tetep bakalan pergi ...," urai Jansen, menatap adiknya memberi pengertian.

Bahu Raiden kian bergetar karena tangis. "Kakak jahat. Kenapa Kakak nggak bantu tahan Mommy? Kenapa Kakak diem aja? Daddy juga, kenapa Daddy cuma diem? Semuanya sama aja. Kalian semua jahat!"

"Semuanya gara-gara Daddy. Kenapa Daddy nggak pernah mau dengerin kita sekali aja? Sesusah itu ya buat bikin Mommy tetep di sini? S-sekarang ... kita nggak punya Mommy lagi ..." Raiden bercicit pelan, hidung dan matanya memerah karena tangis.

Sedang Jayden yang mendengar itu hanya bisa menunduk dalam diam, bibir pria itu bergetar melihat bagaimana putranya bersikeras menahan Dera agar tidak pergi.

Begitu pula Jansen dan Jean, keduanya sama-sama bergeming, menerima kemarahan sang adik.

"Sampai kapanpun, Raiden nggak akan pernah setuju Daddy buat nikah lagi. Kalau Daddy tetep mau nikahin Tante Maudy, silakan. Raiden bakalan pergi dari sini," ujar Raiden pada Jayden, sebelum akhirnya pemuda itu berlalu pergi.

Membuat Jayden tertegun, menatap putra bungsunya yang berlalu pergi, lantas beralih pada Jansen dan Jean yang masih berada di tempat.

"Daddy terlambat. Kita kecewa sama Daddy," ujar Jansen, selama beberapa saat menatap obsidian sang ayah dengan gurat sendu sirat akan kekecewaan, lantas berlalu pergi bersama Jean.

AffectionWhere stories live. Discover now