BAB TIGA PULUH SATU

Start from the beginning
                                    

Semoga saja ia belum terlambat.

Pagi ini sebelum pergi ke kantor ia berniat untuk menemui Maudy terlebih dahulu, ada hal penting yang ingin ia bicarakan dengan perempuan itu. Meletakkan kembali map yang ia pegang di tempatnya tadi, Jayden menarik laci nakas dan mengambil jam tangannya. Ketika melingkarkan benda itu di pergelangan tangannya, tiba-tiba bunyi serta getaran ponsel yang ada di atas nakas membuat Jayden mengalihkan atensi.

Pria itu mengerutkan dahinya ketika melihat nama Maudy lah yang tertera di layar ponsel. Mengambil benda pipih itu, Jayden menggeser tombol hijau dan mendekatkannya ke telinga.

Begitu telepon tersambung, suara Maudy langsung terdengar dari seberang sana. "Jay ..."

"Maudy? Ada apa?" tanya Jayden, menyadari adanya keanehan dari suara Maudy, perempuan itu seperti sedang menangis.

"Mama, Jay ..." eluh Maudy sembari terisak, membuat kerutan di dahi Jayden semakin kentara.

"Mama? Mama kamu kenapa? Bicara yang jelas, Maudy," balas Jayden.

Berselang kemudian, kedua bola mata Jayden membulat sempurna ketika Maudy berkata, "Mama ... Mama udah pergi, Jay ... Mama udah pergi ...."

***

Mengedarkan pandangan pada sekitar meja makan, ketiga bersaudara itu mencari sang ayah yang tak terlihat kehadirannya. Hanya ada Dera di meja makan, dan beberapa maid yang tengah menyiapkan sarapan. Biasanya Jayden sudah di meja makan lebih dulu dari mereka, apakah ayahnya itu berangkat pagi-pagi lagi?

"Daddy kemana, Mom? Kok nggak ikut sarapan?" tanya Raiden pada sang ibu.

Mendengar pertanyaan itu, Dera sontak menoleh, hanya sesaat sebelum ia kembali menuang sirup di atas kue panekuknya. "Nggak tau," jawab wanita itu singkat.

Mengulum bibirnya Raiden mengangguk-angguk, sedang Jansen dan Jean hanya diam, merasa adanya batas yang kental di antara mereka, padahal sebelumnya Dera tidaklah begini, wanita itu pasti akan tersenyum hangat, menyapa dan menyambut mereka untuk sarapan pagi. Rasa cemas akan kembalinya sifat lama Dera membuat mereka takut.

"Ayo, sarapan," ajak Jansen, menepuk punggung kedua adiknya, yang dibalas anggukan oleh mereka berdua.

Mengambil duduk di tempat masing-masing seperti biasa, hanya suara peralatan makanlah yang terdengar mengisi keheningan. Dera hanya diam menikmati sarapan paginya, begitu pula dengan Jansen, Jean, serta Raiden.

"Kenapa nggak pakai seragam sekolah?" tanya Dera, membuka pembicaraan pertama kali, membuat ketiga kakak-beradik itu sontak mendongak.

Ketika Jansen akan menjawab, perkataannya kembali tertelan lantaran sudah didahului oleh Raiden. Dengan tersenyum lebar, pemuda itu menjawab, "Hari ini kita libur, karena guru di sekolah lagi ada acara," jawabnya antusias.

"Oh," sahut Dera, mengangguk tipis, kembali melanjutkan sarapan. Setelah itu, keheningan kembali mendominasi, hingga Dera menyelesaikan sarapannya dan meninggalkan ruang makan lebih dulu.

Menatap punggung sempit ibunya yang menjauh, Raiden menggeser piring dimana sarapannya hanya termakan dua potongan.

"Kok nggak dihabisin?" tanya Jansen, menatap adik bungsunya.

Raiden menggeleng. "Nggak nafsu. Aku mau ke kamar dulu," jawab pemuda itu, turun dari kursinya lantas berlalu pergi, meninggalkan kedua kakaknya yang dilanda perasaan bingung, atau lebih tepatnya, bingung harus melakukan apa, karena mereka sendiri juga terjebak penyebab dari perasaan itu.

Di sisi lain, Dera tengah merapikan penampilan di depan kaca cermin yang ada di kamarnya. Wanita yang duduk di depan meja rias itu terdiam, menatap pantulan dirinya di depan sana dan menghela napas pelan.

AffectionWhere stories live. Discover now