BAB DUA PULUH SEMBILAN

Start from the beginning
                                    

Balas tersenyum, Dera mengangguk. "Love you too," sahutnya, seraya melambaikan tangan pada ketiga pemuda yang sudah naik ke dalam mobil antar-jemput dengan supir pribadi.

Begitu mobil Honda Civic itu melewati gerbang, Dera berbalik, hendak masuk ke dalam rumah dan bersiap-siap untuk pergi ke butik. Di saat yang sama ketika ia berbalik, Jayden barusaja keluar. Menyunggingkan kedua sudut bibirnya, Dera melempar senyum ketika berpapasan dengan pria itu.

Langkah Dera sontak berhenti saat dua langkah mereka saling melalui lantaran Jayden yang tiba-tiba memanggil,

"Dera."

Memutar tubuh, Dera menyahut. "Iya?"

Dengan ekspresi canggung, Jayden menghindari kontak matanya dengan Dera. "Yang semalam— itu ... saya ...." Ucapan Jayden menggantung, pria itu mengusap tengkuknya kikuk.

Berkedip, sesaat kemudian Dera mengembangkan senyum. "Nggak apa-apa. Perut kamu baik?" tanya wanita itu mengalihkan topik.

Jayden mengangguk tipis, kecanggungannya berangsur mereda. "Lumayan. Terimakasih sup ayam dan jus alpukatnya."

Dera tersenyum dan mengangguk. "Baguslah kalau begitu. Kalau kepala kamu pusing, tidak usah pergi bekerja, istirahat saja di rumah," tutur wanita itu perhatian.

Jayden tersenyum kecil. "Terimakasih, tapi saya baik-baik saja. Kalau begitu ... saya berangkat kerja dulu."

Dera kembali mengangguk dan tersenyum. "Hati-hati," ucapnya tanpa kalimat semangat bekerja serta sebuah kecupan singkat seperti dulu yang sering wanita itu lakukan.

Jayden mengangguk, juga tanpa kalimat hubungi saya jika terjadi sesuatu, serta usapan rambut dan kecupan balasan.

Interaksi mereka banyak berubah, dan itu membuat keduanya sama-sama merasa kosong seolah kehilangan salah satu bagian dalam diri mereka.

***

Perempuan beranting ring itu mengernyitkan dahi dengan bibir berkerut, tampak sedikit kesal karena pria di depannya terus melamun sedari tadi.

"Jay!" tegur Maudy, sedikit mengeraskan suara, membuat sang empu yang ditegur sedikit terkejut hingga refleks menjawab,

"Hm? Ada apa, Dera?"

"Dera?" Kerutan di dahi Maudy semakin tampak jelas. perempuan itu memicing pada Jayden. "Kamu sedang memikirkan wanita itu?"

Jayden yang salah menyahut pun juga terkejut, entah kenapa nama Dera spontan mengudara dari mulutnya. Tersenyum kikuk, pria itu menggeleng. "Hm? Oh, tidak, saya hanya menyahut secara refleks saja. Maaf."

Terdiam sesaat, dengan tatapannya yang tak berpindah dari Jayden, Maudy lantas mendengkus. "Apa sih yang sedang kamu pikirkan? Melamun saja daritadi, kamu ada masalah?"

Jayden menggeleng. "Tidak ada. Mungkin hanya kebetulan sedang melamun. Oh ya, Ngomong-ngomong, bagaimana kondisi ibu kamu?" tanya Jayden mengalihkan topik.

Mendapati pertanyaan itu, otot di wajah Maudy merenggang, helaan napas keluar melalui mulutnya. "Cukup buruk. Semakin hari kondisi Mama semakin memprihatinkan, aku takut, Mama bisa meninggalkan kami kapan saja nanti."

Jayden tersenyum tipis, meraih tangan Maudy lalu mengusap pelan punggung tangan perempuan itu sebagai bentuk rasa simpatinya. "Jangan berbicara seperti itu. Ibu kamu pasti akan sembuh nanti, percayalah."

Balas tersenyum, Maudy mengangguk pelan. "Semoga. Mama pasti lelah harus terus berjuang setiap detiknya dengan bantuan alat-alat medis itu. Aku tidak tega melihatnya, tapi aku juga lebih tidak tega untuk melepaskannya."

AffectionWhere stories live. Discover now