BAB DUA PULUH TUJUH

Start from the beginning
                                    

"Jansen—" Ucapan Jayden tersendat, kala Jansen menyela.

"Bentar. Aku dulu," selanya, menatap Jayden dengan serius. "Apa Daddy bisa jamin, hal yang terjadi dulu nggak akan terulang kalau Daddy menikah lagi? Apalagi yang Daddy nikahi itu perempuan nggak tau diri yang mau-maunya sama laki-laki beristri," ungkap Jansen, memberanikan diri untuk menyatakan hal yang ingin ia sampaikan pada sang ayah sejak berhari-hari lalu.

"Harusnya Daddy bisa belajar dari apa yang udah terjadi, bukannya malah gegabah begini. Mommy udah berubah, Dad, kita juga udah maafin semua kesalahan Mommy dulu, terus apalagi sebenarnya yang Daddy khawatirin?" lanjut pemuda itu, tatapannya tak lagi seintens tadi, sorot matanya seolah sangat mengharapkan sesuatu dari ayahnya.

Menggertakkan gigi, Jayden membuang pandangan sesaat.

"Kalian tidak akan mengerti," gumamnya rendah. "Daddy melakukan ini semua untuk kebaikan kalian sendiri. Tante Maudy tidak seperti apa yang kalian kira, Daddy justru tidak bisa menjamin hal dulu tidak akan terulang jika Mommy Dera masih di sini, terlebih lagi semua ingatannya sudah kembali sekarang."

Mendengar hal itu, Raiden langsung memberengut tidak suka.

"Kenapa Daddy malah berprasangka buruk sama Mommy? Mommy sayang sama kita, dan Raiden yakin Mommy nggak mungkin kayak gitu lagi," yakin pemuda itu, menatap ayahnya dengan alis bertaut.

"Untuk kebaikan kita Daddy bilang? Kalau bener untuk kita, kenapa Daddy nggak tanya dulu pendapat kita? Bukan malah ambil keputusan sepihak kayak gini. Apa pendapat kita nggak penting buat Daddy?" ruah Jansen, tinjunya mengepal, hingga buku-buku jarinya memutih.

"Pendapat kalian penting, tapi bukan untuk saat ini," jawab Jayden, membuat Jean yang sedari tadi diam pun akhirnya membuka suara.

"Bukan untuk saat ini, terus kapan lagi? Nunggu sampai semuanya terlambat? Stop being selfish, Dad, kita bilang kayak gini bukan buat sok ngerti dan menggurui, tapi kita nggak mau Daddy ulangin kesalahan yang sama lagi. Nggak ada yang bisa memperkirakan masa depan, hipotesis terburuk kalau seandainya kejadian dulu sampai terulang, Daddy mau bikin Mommy Risa kecewa lagi?" ucap Jean, membuat napas Jayden tersendat, antara merasa kaget dan tertegun.

Daddy mau bikin Mommy Risa kecewa lagi?

Kalimat itu berdaung di telinga Jayden, membuat tubuh pria itu mematung di tempat.

"Jujur aja, jangan bohongin perasaan Daddy sendiri, Daddy sebenernya masih cinta 'kan sama Mommy?" terka Jansen, kembali membuat Jayden terkejut, menatap putra sulungnya dengan tatapan sulit diartikan.

Menarik dan mengembuskan napas pendek melalui mulut, Jansen kembali berujar, "Kalau Daddy mau tau, pendapat kita sama. Kita nggak setuju sama keputusan Daddy, dan sebelum terlambat, kita harap Daddy bisa buat coba pikirin semuanya lagi," tandasnya, beralih menatap Jean dan Raiden bergantian, sebelum akhirnya berlalu pergi meninggalkan sang ayah yang masih bergeming di tempat.

***

Mengusap pigura kecil berisi foto sepasang kekasih yang saling merangkul dan tersenyum ke arah kamera itu, Jayden membuang napasnya pelan. Mereka tampak bahagia, tersenyum lebar seolah tanpa masalah, rona kebahagiaan memancar dari wajah sepasang kekasih itu, menanti buah hati yang telah ditunggu-tunggu kehadirannya, tanpa tahu jika kelahiran jiwa baru itu harus mengorbankan nyawa sang ibu.

Jayden tidak menyalahkan anak-anaknya, jelas mereka tidak salah, karena mereka tak pernah meminta dilahirkan, melainkan ialah yang menginginkan kelahiran mereka. Jayden menyayangi ketiga putranya lebih dari ia menyayangi dirinya sendiri.

Merekalah alasan Jayden bekerja keras setiap harinya agar kebutuhan mereka tak pernah kurang dan selalu terpenuhi. Maka tidak heran jika ia menjadi begitu marah dan emosional ketika anak-anak yang ia rawat dan sayangi sedari kecil justru disakiti oleh orang lain, terlebih orang itu adalah wanita yang ia cintai.

Ia terluka. Merasa tidak becus dan lalai menjadi orang tua. Ia juga telah mengecewakan kepercayaan yang diberikan oleh Risa padanya.

Sekarang, apalagi yang harus ia lakukan?

Ketika mengambil keputusan pun ia masih dianggap egois. Padahal yang ia lakukan juga semata-mata untuk ketiga putranya, bukan untuk kesenangan dirinya sendiri.

Jika ingin egois, Jayden sudah pasti memilih untuk tidak menikah lagi. Ia bisa saja melajang hingga akhir hayatnya nanti, tapi anak-anaknya? Mereka butuh bimbingan serta kasih sayang seorang ibu yang tak bisa dipenuhi oleh ayah.

Andaikata ia rujuk dengan Dera, apakah wanita itu benar tidak akan mengulangi kesalahannya? Kepercayaan Jayden itu sulit untuk didapatkan, maka sekali dibuat kecewa, pria itu pasti akan ragu untuk memberikan rasa percaya lagi.

Meletakkan pigura itu di atas nakas, Jayden mengacak rambutnya dan mengerang. "Arrghhhh!!"

Kemana lagi ia harus mencari solusi?

AFFECTION

ada yg bingung sama time skipnya, ngga?

kalau ngga, dan ngerti sama
jalannya alur, syukur deh, hehe.

AffectionWhere stories live. Discover now