Bab 10. Pendar Rembulan

ابدأ من البداية
                                    

Sebenarnya Kafa tak akan keberatan, jika situasinya tidak se- urgent sekarang. Hari ini, ia harus membayar biaya bulanan asrama, dan membeli beberapa kitab untuk mata kuliahnya. Setelah tampak berpikir, akhirnya Kafa mengangguk.

Yang penting urusan ini selesai dulu, untuk urusan keperluannya, nanti bisa dipikir lagi.

🌱🍀🍂

Una baru saja keluar dari kelas Ilmu Ma'anil Qur'an. Bersama Syanum, anak komplek Asiyah yang jadi sahabatnya di kampus, mereka beriringan menuju area prodi hadis.

"Mau ke mana, Una? perpus, ya? bareng, dong," celetuk Uki, teman kelas dari Bandung.

Una buru-buru menggeleng, tersenyum tipis. "Aku ndak ke perpus."

Dua gadis itu lantas kembali melangkah lurus menyusuri koridor, melewati taman-taman di depan kelas. Lantas belok kanan. Di bawah tangga, ada mbak-mbak penyedia print dan fotokopi. Biasanya ramai di jam-jam tertentu.

"Siapa tadi namanya?" tanya Syanum.

"Abdullah Kafabihi, mahasiswa semester empat."

"Ya, bener berarti seangkatan sama temenku, Arina. Dia pasti tahu."

Una hanya tersenyum. Hati-hati langkah mereka meniti tangga. Menuju salah satu kelas prodi hadis.

Kelas hermneutika hadits. Beberapa belas menit lagi dzuhur, dan kelas-kelas biasanya selesai sebelum adzan berkumandang. Una dan Syanum menunggu di luar, duduk di kursi menghadap taman.

Tak berselang lama, Sang dosen terlihat keluar, diikuti para mahasiswa yang beberapa di antaranya terlihat begitu tergesa. Syanum segera menyongsong langkah seorang gadis berparas ayu, yang diyakini adalah Arina.

Sebelum sempat bertanya, gadis itu dengan ramah meyalami Una. Ia tampaknya sudah tahu betul siapa sosok di hadapannya itu.

"Rin, sampeyan kenal Mas Abdullah Kafabihi, ndak?" tanya Syanum kemudian.

"Abdullah Kafabihi yang dari komplek Al-Manshuriyyah, kah?"

Syanum meminta tanggapan dari Una yang lantas mengangguk buru-buru.

"Ini sekelas gak?" tanya Syanum lagi.

"Enggak."

"Tapi hari ini ada kelas bareng gak?"

Arina tak langsung menjawab, bola matanya menerawang sesaat, mengingat-ingat. "Ah, iya ada. Nanti jam dua siang, kelas metopen hadis."

"Di ruang berapa?"

"Sebentar," kata Arina, ia mengecek screenshoot KRS-nya di hape, gadis itu lalu mengeja pelan. "Ruang 404."

Setelah mengucapkan terimakasih, Una segera mengajak Syanum bergegas ke laboratorium agama, menanti adzan dzuhur berkumandang. Entah kenapa, sepanjang jalan, melewati lorong underground, sampai muncul di selasar lab agama, hati Una terasa begitu berdebar. Berulang kali, ia mengatur napasnya. Rasanya, ia hampir tak percaya bisa menemukan pemuda itu kembali setelah berbulan-bulan pencarian, dan ia kini akan menuntaskan apa yang dianggapnya wajib; memberikan imbalan itu pada yang berhak.

NING, Dan Sebuah Kisah Dalam Hening حيث تعيش القصص. اكتشف الآن