☁️24 : Di Balik Yang Berantakan☁️

Start from the beginning
                                    

Masalahnya sekarang tidak lagi. Seperti bagaimana pemandangan dibalik kaca berubah setiap kali kukedipkan mata, keadaan benar-benar sudah berbeda. Tiba-tiba aku harus mulai bergerak sendiri. Memikirkan itu membuatku kebingungan dan ingin menangis. Aku bahkan tidak yakin apa aku mampu memulai langkah pertama. Selama ini, aku terbiasa mengandalkannya dalam segala hal.

Disaat aku kembali diserbu keraguan, pagar berlapis cat putih yang terawat menyambut pandanganku. Mengenali rumah dibalik pagar tersebut berhasil menahan air mataku. Pada diri sendiri aku tersenyum.
"Ah, sampai juga akhirnya." Gumamku lega.

Aku menurunkan kaca untuk melempar sapaan pada penjaga rumah yang tersenyum sumringah. Katanya ia senang karena aku mampir lagi setelah cukup lama. Sayangnya aku belum bisa berlama-lama mengobrol jadi segera kutanyakan dimana sebaiknya kutempatkan mobilku.

Belum benar-benar hujan ketika aku mencapai teras rumah. Tapi tidak berselang lama butiran gerimis halus mendadak menjadi guyuran yang lumayan deras. Kebetulan pintu terbuka jadi aku langsung masuk saja. Rumah besar ini sama sekali tidak terasa asing meski aku tidak lagi menyambanginya setiap hari. Walaupun rasanya agak aneh menjajaki tangga dengan langkah sepelan ini. Yang dapat kuingat, sepasang sepatuku selalu membuat suara ribut karena aku akan berlari tidak sabaran ketika menyusul Awan ke kamarnya di pagi hari untuk berangkat sekolah bersama.

"Gapapa, Mas. Cuma lagi kangen Mama."

Nada dingin yang Awan lontarkan sontak menahan gerak tubuhku dibalik tembok dekat kusen pintu. Kusembulkan wajah agar dapat melihat sedikit ke dalam dan seperti yang aku duga, Mas Tristan juga disana. Menjadi lawan bicara adiknya yang pura-pura sibuk memainkan ponsel.

"Nah itu, saya hafal kamu tuh nyariin Mama setiap ada masalah yang nggak bisa kamu handle. Ternyata kebiasaanmu itu nggak hilang juga." Mas Tristan bersadar punggung pada lemari sehabis menggulung lengan kemeja formalnya, "Ada apa? Kata Bibi kamu udah sebulan lebih disini."

Sahabatku, yang terlihat kesal karena tersudut meletakkan ponselnya karena pengalihan tersebut tidak lagi ada gunanya. Walaupun demikian, Awan masih memilih diam.

Tadinya aku kira Mas Tristan beranjak dari pijakan karena menyerah menghadapi kebatuan Awan, ternyata aku salah. Sekarang pria yang akan segera menjadi seorang ayah itu ikut duduk menyebelahi Awan di tepian kasur.

"Saya paham nggak ada yang bisa menggantikan Mama, Wan. Tapi beliau sudah nggak sama kita. Dan sekarang, yang ada hanya saya. Kalau kamu nggak keberatan, kamu bisa cerita ke saya apa yang sedang memberatkan pikiran kamu."

Hening. Awan belum juga yakin. Mas Tristan lantas menyambung seraya menenggerkan satu tangan di bahu Awan, menepuknya ringan, "Mungkin saya nggak jago kasih advice, tapi kamu tahu saya nggak akan serta merta menghakimi kamu."

Aku menelan ludah. Melihat bibir Awan bergerak hendak berucap seketika membuatku ikut terserang gelisah. Aku mungkin sudah mengetahui terlalu banyak. Akan tetapi aku tidak pernah menyiapkan diri untuk mendengar semuanya dari sudut pandang Awan.

"Gue bikin kacau, Mas."

"Sekacau apa?"

"Gue nidurin-" Awan menghentikan kata-katanya, kemudian menekan-nekan pangkal hidung menunjukkan dirinya frustrasi karena tidak menemukan kata lain yang lebih pantas, "Sial. Lo pasti tahu maksud gue." Imbuhnya menyerah.

Mas Tristan tampak tertegun. Kemungkinan tidak mengira jika kekacauan yang Awan maksud mengarah pada hal seperti itu. Meski berusaha ditutupi, aku tetap bisa menyadari seberapa Mas Tristan kewalahan untuk tetap mempertahankan wajah kalemnya seraya mencoba berpikir dengan tenang.

"Yang kamu bahas ini... Windi?"

"Bukanlah, gila!" Awan menyambar cepat melayangkan sangkalannya, "Lo sangat tahu sesayang apa gua sama Didi. Gue lakuin apa aja buat jagain dia. Mana mungkin gue berbuat seperti itu ke Didi!"

Di Balik AwanWhere stories live. Discover now