-Bayangan, satu hari paling bahagia-

1.5K 263 64
                                    

Jeane menatap bayangannya yang kini tercetak jelas di atas jalanan. Cuaca cukup terik membuat ia sedikit meringis. Tapi saat mengingat kembali percakapannya beberapa menit yang lalu, senyum manis tak kunjung lepas dari kedua sudut bibirnya.

Theo.

Alasan satu-satunya saat ini jeane tersenyum. Bagaimana tidak, laki-laki itu sedari pagi menebarkan senyuman padanya. Bukan senyum terpaksa seperti biasanya, kali ini terlihat teramat sangat tulus.

Jemari yang semula bertautan, kini saling meremas guna menghilangkan kegugupannya saat tak sengaja netranya menangkap sosok theo yang mulai berjalan mendekat kearahnya. Di punggung laki-laki itu menjinjing tas yang lumayan besar. Tas yang di yakini jeane berisi berbagai macam buku matkul.

"Theo" panggilnya pelan. Tapi laki-laki itu dapat mendengar. Terbukti dari tatapan matanya yang semula menatap jalanan kini beralih menatap jeane dengan bentuk mata bulan sabit.

Laki-laki itu tersenyum pada jeane dengan teramat tulusnya. Jeane tidak melihat kepalsuan disana. Dan jeane berharap ini semua bukanlah mimpi semata. Ia berharap ini sungguhan dan kalaupun ini hanya mimpi, ia tidak ingin ada satupun orang yang membangunkannya dari mimpi indah ini.

"Lama ya?" Theo berujar setelah berhasil berdiri tepat disamping jeane.

Jeane menggeleng pelan sembari bibirnya berujar, "engga. Gue juga barusan sampe"

Jelas itu sebuah kebohongan. Ia sudah menunggu theo sedari tadi, ah tidak. Ia sudah menunggu theo sejak lama. Sejak awal pertemuannya dengan laki-laki itu yang membawa bencana. Ah, bukan bencana, itu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagi jeane.

"Sorry" balas theo tanpa mempedulikan ekspresi wajah jeane yang menyimpan banyak pertanyaan.

"Lo gak salah, jadi—"

"Maaf" ujarnya lagi. Senyum manis masih mengembang di kedua sudut bibirnya membuat jeane tak ingin berpaling dari wajah tampan itu.
"Maaf terlambat"

Sekali lagi jeane menggeleng pelan, tapi ucapan theo selanjutnya mampu membuat jeane terkejut dengan mulut menganga lebar.

"Maaf terlambat nyadarin perasaan gue ke lo."

Tak ada respon sebab jeane sibuk menenangkan dirinya yang mulai salting. Tanpa diminta wajahnya memerah dan dengan perasan kesal sekaligus bahagia ia segera menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya.

Tiga menit berlalu tanpa ada sahutan dari siapapun. Theo sibuk memandangi jeane serta jeane yang sibuk menatap jalanan kosong didepannya.

Jujur jeane sangat menyukai pengakuan theo, tapi entah kenapa mulutnya terasa kelu hanya untuk membalas ucapan laki-laki itu. Ini terasa nyata tapi dirinya masih tidak menyangka kalau pengakuan itu akhirnya akan keluar dari mulut laki-laki yang berhasil membuatnya tak karuan hanya karena mengingatnya.

Dalam hati jeane berdoa semoga kecanggungan yang tiba-tiba hadir ini segera sirna. Namun ia salah, saat ia menoleh disitu ia merasa seluruh tubuhnya lunglai.

Mata yang saling memandang dalam jarak dekat, debaran yang tak terbantahkan hingga akhirnya ia semakin tenggelam pada pesona laki-laki didepannya itu. Mulut keduanya masih bungkam, seolah lewat tatapan mata saja mereka dapat saling berbicara.

Seumur hidupnya jeane tidak pernah membayangkan kalau ia akan berubah sedemikan rupa saat berhadapan dengan theo. Dan dengan perasaan menyesal jeane merutuki mulutnya yang berhasil menghentikan tatapan keduanya.

"Theo, gue—"

"Ehemm!" Theo berdehem guna mengusir kegugupannya. Seperkian detiknya laki-laki itu kembali menatap jeane lurus-lurus. "Lo gak perlu ngejelasin apapun, gue tau semua jeane"

Kosan NYAIWhere stories live. Discover now