Jade

451 54 2
                                    

A very small gift for a very bright person that born on this day. Happy Birthday, Riri!

Peringatan: mengandung (sangat) sedikit unsur blasphemy.

Tersanga-sanga napas Jaehyun memburu, kakinya saling mengejar kanan kiri membalap satu sama lain dengan kepala yang sesekali ia arahkan ke belakang—menoleh memastikan jika tubuhnya jauh dari daging dan kulit berkepala yang mengejar. Dadanya berdebar kencang. Tetapi, itu adalah hal yang paling tidak ia harus pedulikan. Saat ini, dia hanya membutuhkan pondok perlindungan.

Matanya menoleh ke depan, menangkap pertigaan dan tanpa berpikir panjang ia memilih mengarah ke kanan. Rupanya, kemujuran masih menyembah kakinya dan membawa setapaknya ke keselamatan. Ia melihat mulut yang penuh caci maki mengumpat, berkeliling di dekat dirinya bersembuyi tanpa ada yang sadar jika Jaehyun tiarap di bawah bak.

Hampir empat puluh lima menit dia diam tidak bergerak—menunggu betul jika dia sudah tidak lagi harus saling mengadu kaki untuk berlari lebih cepat. Lantas, ia kibaskan kain pelindung tubuh yang terhias debu; membiarkan mereka terbang dengan sebagian yang nakal mengunjungi hidung Jaehyun—menyapa dan membuat Jaehyun harus mengembalikan paksa para debu yang bertamu dengan wahing keras yang keras.

Mungkin keras adalah kata yang meremehkan, karena begitu gelegar suara ia keluarkan, kucing jalanan yang mencari makan di sekitar lari ketakutan.

Ah, tetapi apa hubungannya dia dengan kucing kabur? Baiknya dia segera pergi dari sini.

***

Kuningnya daun menghias sepanjang jalan yang ia telusuri. Bibirnya menggumam mengikuti musik dari mobil yang ia sendiri tidak tahu siapa yang bertanggung jawab untuk memiliki. Lagi pula dia tidak peduli. Orang bodoh mana yang meninggalkan mobil dengan kunci yang masih menempel; membuatnya terlalu mudah untuk mengambil dan mengendarai. Ia sempat mampir ke tanah lapang tidak berpenghuni; membongkar pelat nomor dan membuangnya ke sungai terdekat. Dengan begini, harusnya dia sedikit meminimalisir kemungkinan dia bersambang hangat dengan manusia-manusia berseragam yang sejujurnya, tidak jauh berbeda dengan dirinya.

Bedanya, mereka mencuri dengan legal. Sedangkan Jaehyun, mencuri dengan ilegal.

Tetapi, intinya tangan mereka sama-sama kotor, bukan?

Ia menghela napas, lantas menuju area yang jauh lebih terpencil dari pada jalanan dengan pepohonan yang daunnya menguning tadi. Dia memarkirkan mobil sembarangan dengan kunci yang dia tinggal; dia tidak ceroboh, justru dia berhati-hati. Bukankah kalau mobil itu dicuri orang, maka bukan dia yang nantinya ditangkap? Itu sebuah keuntungan besar, dia sama sekali tidak rugi.

Ia melihat rumah berlantai dua, merah mendominasi dengan ornamen hiasan di kanan-kiri. Terang nyalanya hampir membuat surup tidak ubahnya seperti siang. Ia mengambil satu batang rokok, menyalakannya dan segera mengisap hingga tinggal tiga perempat. Kalau boleh jujur, desain tempat ini begitu norak dan mencolok; sangat tidak menyenangkan mata Jaehyun yang sudah terbiasa dengan mewah benda dan bangunan yang ia bobol untuk ia cuili.

Tetapi, sekalipun begitu, orang-orang yang ada di sana tidak ada yang tidak memesona. Semuanya seperti polesan surga, seolah-olah Tuhan langsung menggunakan tangannya untuk memahat mereka.

Ah, baiknya ia tidak menyebut Tuhan di sini. Tidak cocok. Lagi pula, tidak ada Tuhan yang disembah penghuni rumah bordil, semua sepakat mengutuk atas nasib mereka. Jadi sebaiknya lupakan saja.

Sekali lagi Jaehyun mengisap rokok yang berhias di antara kempitan kedua jemari tangan dan membuatnya tinggal setengah. Lantas, ia membuang puntung yang masih sisa setengah ke tanah dan menginjaknya. Dia tidak sayang, lagi pula dia tidak ingin membuat orang yang ditemuinya mengerutkan alis ketika mencium asap rokok yang menguap. Jaehyun paham jika dia benci itu. Olehnya, dia mengalah.

Di antara indah taman bunga rumah bordil milik Tuan Kwok, ada satu orang yang indahnya seperti giok. Indahnya hampir tidak bisa diuntai dengan puisi Kahlil Gibran yang paling puitis. Sama sekali tidak ada bandingannya dan dia adalah permata di sana.

Harga? Jangan ditanya. Dia tidak bisa dibeli bahkan jika kau adalah presiden yang tengah berkuasa.

Lalu, bagaimana Jaehyun bisa seberuntung itu bisa menemui? Itu karena sang giok sendiri yang memilihnya. Mata mereka tanpa sengaja bertemu di suatu malam dan secara langsung hati turut bertaut. Tuan Kwok tidak keberatan, manalagi, dari awal Tuan Kwok mengambil sang giok, dia tahu dia tidak akan bisa membuatnya menjadi pemanas ranjang—olehnya dia hanya menjadi penyenang lewat merdu suara dan gemulai badan yang ia tampilkan setiap malam. Lagi pula, setengah jam gemulai sang giok dengan kerling mata dengan satu bibir yang terangkat naik bisa menghasilkan empat kali lipat sundalnya yang berkerja keras tanpa henti setiap malam.

Jadi, apa salahnya jika ia membiarkan sang giok untuk memilih sendiri tautan hati?

Jaehyun menyapa Tuan Kwok begitu dia sampai di meja depan, Tuan Kwok menyapanya balik. Alisnya terangkat—mengisyaratkan jika dia sudah ditunggu oleh anak emas miliknya. Jaehyun bergegas, tanpa mengetuk, ia membuka pintu dan menemukan sang giok yang tengah berkaca dan menghapus rias.

Pantulan bayangannya terlihat di cermin dan sang giok memberikan senyum. Tanpa menoleh, sang giok berujar. "Kau membuat dirimu kotor lagi,"

Jaehyun tergelak. "Ayolah, aku harus bersembunyi di bawah bak sampah hari ini. Bagaimana mungkin aku tidak kotor?"

Sang giok kembali tesenyum dan menghela napas. Kali ini, kelopak matanya sedikit turun dan terlihat sayu. "Apa kau benar-benar tidak mau berhenti? Tawaranku masih berlaku."

Badan Jaehyun kaku sejenak sebelum mendekat, ia mengecup kening sang giok dan menatap pantulan bayangan mereka di cermin. "Taeyong, aku belum bisa berhenti. Setidaknya sampai aku memiliki cukup uang untuk membawa kita ke luar negeri. Kau tahu itu."

Taeyong mendongak, "Aku punya banyak uang."

Tergelak, Jaehyun memberinya kecupan di bibir. "Aku tahu, tetapi itu adalah uang yang kau kumpulkan untuk membuka restoranmu sendiri, bukan untuk kita memulai hidup di negeri baru." Kali ini Jaehyun berlutut, digenggamnya tangan Taeyong dan ditatapnya matanya penuh dengan rasa sungguh. "Tolong jangan membuat harga diriku terluka, aku sudah terlalu beruntung mendapatkan giok sepertimu untuk kucinta, sekarang, biarkan aku berjuang untuk merawat dan memberikan giokku semua hal terindah di dunia, bagaimana?"

"Aku tidak butuh itu," Taeyong menggenggam balik. "Aku hanya butuh kau."

"Sayang," nada suara Jaehyun semakin lembut. "Dengar, aku benar-benar ingin memiliki masa depan denganmu dan awalnya aku juga berpikir, jika kita hanya butuh satu sama lain. Tetapi..."

"Tetapi?"

Jaehyun terkekeh kecil. "Tetapi...semakin ke sini, semakin aku ingin melihat masa depan di mana kau, aku dan juga anak kita bahagia bersama di teras belakang rumah, kita memiliki keluarga normal yang bisa membuat anak kita bangga. Aku tahu kau sangat menyukai anak kecil dan sudah lama kau ingin mengadopsi mereka. Jika kau ingin itu semua terwujud, Giokku, aku mohon bersabarlah sedikit lebih lama."

Taeyong tidak menjawab. Dia hanya menatap Jaehyun cukup lama dan sebelum Jaehyun bahkan bisa bertanya atas kediamannya, badannya sudah direngkuh dan bibirnya telah ditangkup ke dalam ciuman hangat.

Memang, tidak ada salahnya untuk menunggu lebih lama.

Fin.

Rhapsody || JaeYongWhere stories live. Discover now