Prolog

45 7 0
                                        

Cerita ini hanya fiktif belaka, murni hasil kehaluan imajinasi author. Jika ada kesamaan tempat, cerita, adegan dan lainnya itu adalah sebuah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Mungkin ada beberapa part yang mirip atau readers pernah baca/lihat/tonton karna kehaluan ini di sponsori oleh referensi2 dari sebagian webtoon, drama, dan novel yang pernah author lihat

⛔Alur cerita terbilang lambat dan jika ada kalimat/kata yang rancu serta typo bertebaran harap dimaklumi karna author pun hanya manusia biasa⛔

happy reading guys, tinggalkan jejak dengan vote dan komen yaa

***

"Lepasin! Cepat lepasiin!"

Suara seorang gadis menggema di sepanjang koridor marmer, penuh panik dan amarah. Tubuh mungil itu terus meronta dalam gendongan seorang pria bertubuh kekar yang memanggulnya di bahu seolah bobotnya hanyalah selembar kain.

Lyra Jauzza memukul-mukul punggungnya—keras, cepat, putus asa—namun pukulan itu tak lebih dari gigitan nyamuk bagi tubuh besar yang membawanya. Pria itu justru mengencangkan pegangan, memastikan ia tak terjatuh.

Di depan mereka, seorang pria berkacamata berwajah oriental berjalan dengan langkah teratur. Tidak tergesa. Tidak gugup. Seperti sudah terbiasa menghadapi kekacauan semacam ini. Ia berhenti di depan sebuah pintu mahoni tinggi dengan ukiran klasik yang elegan—pintu yang hanya dibuka untuk satu orang di rumah itu.

Ia mengetuk pelan.

"Masuk," suara dalam ruangan menjawab tenang, rendah, dan dingin.

Begitu pintu terbuka, aroma kayu mahal bercampur wangi kopi hitam memenuhi udara. Ruangan itu luas, megah, dan berwibawa—dengan dinding penuh rak buku, lampu gantung kristal, dan meja kerja gelap yang mendominasi sisi ruangan.

"Tuan, Nona sudah ditemukan," lapor pria berkacamata itu ketika melangkah masuk.

Pria yang dipanggil Tuan itu mengangkat pandangannya dari laptop. Gerakannya pelan namun mengandung kekuasaan yang membuat siapa pun di ruangan itu refleks menahan napas. Mata hitamnya menajam saat mendengar kata "Nona".

Kaelus Alden berdiri. Posturnya tegap, wajahnya tanpa ekspresi, namun ada sesuatu yang terpendam dalam sorot matanya—cemas, marah, sekaligus lega.

Ia memberi isyarat dengan dagu. "Bawa masuk."

Pria kekar itu melangkah maju, menurunkan Lyra perlahan ke sofa kulit di depan meja kerja. Begitu kakinya menyentuh lantai, Lyra langsung menggeser tubuhnya menjauh, napasnya tersengal, rambut acaknya menutupi sebagian wajah, mata merahnya menyala oleh emosi.

"Kalian gila?!" Lyra mendesis, suaranya bergetar namun penuh perlawanan. "Aku bisa jalan sendiri!"

Kaelus menutup laptopnya. Klik. Suara kecil itu terdengar begitu mengancam dalam ruangan sunyi. Kaelus hanya berdiam beberapa detik memperhatikan Lyra dari ujung rambut hingga ujung kaki—dan tatapannya berhenti tepat di lutut Lyra yang terluka. Darah mengering di kulitnya. Debu masih menempel. Luka itu masih memerah seolah baru saja terjadi.

Kaelus melangkah mendekat, membiarkan keheningan menekan udara di antara mereka. Ia menghela napas sangat pelan. Hampir tak terdengar. Ada lega... tapi juga sakit. Bukan sakit karena marah, tapi sakit karena khawatir.

"Duduk," ucapnya singkat.

Lyra menatapnya dengan tatapan ingin membunuh, tapi sorot ketakutan di balik kemarahannya tak bisa sepenuhnya tersembunyi. Tenggorokannya bergerak naik turun, menahan sisa-sisa isak yang tak mau ia tunjukkan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: 4 days ago ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Langit untuk LyraWhere stories live. Discover now