Rahasia yang mulai mencuat-II

Începe de la început
                                    

Ibu mengangguk, "Iya, yaudah sini biar ibu siapin di meja makan."

Ibu mengambil rantang yang ia bawa dan menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Aku menatap Ibu dengan rasa tak enak, bisa-bisanya aku jarang menghabiskan waktuku dengan wanita yang telah sangat berjasa-yang telah mengurusku sedari kecil, ada rasa bersalah yang berkecamuk dalam dada.

"Bos," tegur Toni menghamburkan lamunanku. Aku menengok ke arahnya.

"Itu ibu lo kesini pake sepeda, memangnya gak ada motor dirumah? Lumayan jauh 'kan rumah ibu lo kesini?"

Aku baru menyadari kalau motor vespa ayah belum aku pulangkan kerumah, "Duh,Ton. Gua lupa mulangin motor,"

"Kualat lo."

Lantas, aku langsung meninggalkan Toni dan menghampiri ibu yang tengah menata meja, aku memeluknya dari belakang seraya menempatkan daguku di bahu kanan ibu, "Bu, Bima minta maaf ya, karena Bima lupa mulangin motor kerumah, ibu jadi cape-cape goes sepeda kesini,"

Ibu mengelus-elus tanganku yang melingkar dipinggangnya,"Gak apa-apa nak, ibu ini masih kuat kok, lagipula sekalian olahraga pagi,"

"Bima sayang banget sama Ibu." Aku mencium pipinya.

"Ibu juga sayang banget sama Bima."

***

Setelah mengantarkan ibu pulang, aku terpikirkan untuk menjemput Naira dan mengajaknya makan malam, namun kalimat penolakan selalu datang darinya, tetapi aku tetap menjemputnya. Kalau tidak begini, Naira akan lupa waktu untuk istirahat dan makan karena pekerjaannya yang selalu menuntut untuk cepat diselesaikan, itulah yang aku kenal darinya, ia sangat anti dengan tidak bertanggung jawab, namun jiwa tanggung jawabnya itu diam-diam akan menggiringnya ke jurang kerapuhannya sendiri, ia tidak menyadari kalau sewaktu-waktu ia bisa sakit karena terlalu sering bekerja.

Aku menjemputnya dihalte, Naira terlihat masih berkutat didepan laptopnya yang terbuka, ya ampun Naira, hidupnya terlihat tidak ada santai sedikitpun. Saat ia sudah masuk kedalam mobilku, aku menyuruhnya untuk menutup laptopnya namun penolakan selalu aku terima, hingga sesaat kemudian Naira menangis masih dengan mata yang meniti halaman word yang ia buka, kemudian ia menjelaskan kalau naskah yang sedang ia baca itu menghadirkan cerita yang sangat memilukan, penulisnya membuat tokoh ayah dalam cerita itu meninggal dunia, ia menatap dengan mata yang sendu. Lalu ia bertanya,

"Kenapa harus meninggal? Padahal kan kalau ia tetap membiarkan tokoh ayah hidup, dan ia pertemukan dengan tokoh perempuan itu, akhirnya kan bisa happy ending."

Naira, seandainya hidup sesederhana itu, maka tidak akan pernah ada kejelasan yang terkubur dan sebuah rahasia yang suatu saat harus diungkapkan. Seandainya hidup selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita mau, maka kemalangan akan menjadi kata yang sudah tereliminasi sejak awal, namun kita hanya seorang hamba yang hidup sesuai tuntunan Yang Maha Kuasa. Bukan Tuhan tidak baik, bukan Tuhan tidak adil, hanya saja manusia harus diberi air mata untuk tau cara tersenyum, harus diberi kemalangan untuk dapat menemukan bahagia dan harus diberi luka untuk tau cara menyembuhkan. Aku menjawab,

"Nai, tokoh perempuan itu harus belajar mengikhlaskan,"

Setiap yang ditinggalkan, sudah seharusnya belajar mengikhlaskan sebab jika kehilangan tak bisa disembuhkan dengan pertemuan, maka keikhlasan adalah obat yang paling dianjurkan. Namun Naira si tokoh perempuan itu, belum bisa menyembuhkan lukanya sebab pertemuan yang masih ia yakini dan keihklasan yang tak pernah ia pelajari. Di sepanjang jalan, aku memikirkan bagaimana reaksi Naira saat ia mengetahui, bahwa naskah yang sedang ia baca adalah tentang dirinya-adalah tentang sebuah kejelasan yang selama ini ia tunggu-adalah tentang sebuah penjelasan dari seorang ayah yang tak pernah kembali, aku juga penasaran sekaligus khawatir tentang hubungan aku dan Naira jika suatu saat nanti ia mengetahui bahwa akulah penulis naskah itu dan akulah saksi dari pengkhianatan seorang ayah yang sangat ia cintai. Naluriku menerka abu, nalarku menciut malu dan aku semakin ragu; untuk kesekian kalinya.

***

Aku dan Naira sampai disebuah restoran, aku memesankan makanan untuk porsi berdua, ia memang sudah tak lagi berkutat pada layar monitor laptopnya namun kini beralih sibuk dengan gawai yang terus berdering, entah ia sedang sibuk bertukar pesan dengan siapa, yang jelas matanya tak pernah absen meniti layar gawai digenggamannya, aku yang bosan melihatnya terikat dengan pekerjaan terus-menerus, lantas menarik gawainya tanpa izin dan menyandranya sementara, jangan ditanya wajahnya sekesal apa, namun tindakan ini harus aku lakukan supaya Naira bisa melahap makan malam yang sudah tersedia di meja kami saat ini. Aku melakukannya karena aku tahu ia punya penyakit magh, sewaktu sekolah dulu aku pernah melihatnya tertidur di bangsal UKS yang sedang ditangani oleh anak-anak PMR, aku bertanya kala itu dengan mereka yang bertugas, dan mereka memberitahu bahwa Naira mempunyai magh.

Diakhir makannya, ia bertanya, "kamu itu pengangguran ya?" tak kusangka Naira menganggapku begitu, aku hanya terkekeh mendengarnya. Namun jika kupikirkan lagi, aku memang belum menceritakan tentang siapa diriku yang sebenarnya, aku terlalu sibuk mengenalnya hingga melupakan tentang pengenalanku kepadanya. Aku menjadi penasaran, bagaimana jika Naira mengetahui bahwa aku bukanlah seorang pengangguran melainkan seorang yang sangat terkenal sebab gambar-gambarku yang banyak diminati, bahkan saat aku meraih gawainya tadi, di walpaper gawainya ia memakai sketsaku yang sedang viral baru-baru ini, aku hanya mengulas senyum tipis saat melihatnya tadi.

Saat ia meminta gawainya dikembalikan betapa terkejutnya aku saat ia mengatakan ingin menelpon si penulis itu, "sini hp aku, aku mau hubungi penulis itu," katanya. Maka sebisa mungkin aku menghentikan Naira, sebab jika tidak, malam ini Naira akan mengetahui bahwa akulah si penulis itu, malam ini bukan malam yang tepat.

Rahasia yang mulai mencuat menghadirkan khawatir yang semakin terang,
Aku sudah seharusnya memasang benteng keberanian yang tangguhnya bukan hanya menjadi bayang,
Aku semakin penasaran, dan diam-diam aku semakin sayang.

***

To be continued...

Hy guys, terimakasih ya sudah bersedia membaca ceritaku. Please aku juga butuh saran dan kritikan dari kalian, jangan segan-segan berkomentar ya.

Sampai jumpa di BAB selanjutnya.

BARA [END]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum