Chapter 11 Please Don't Go

Start from the beginning
                                        

Sofia membawa Zay menjauh dari gang itu dengan susah payah. Zay kini sudah tak bersuara. Nafasnya terdengar semakin pelan. Dan Sofia semakin mempercepat langkahnya walau sulit. Matanya yang basah dan sembab melirik kemanapun, mencari pertolongan.

“ayolah Zay..tolong jangan pergi” bisik Sofia dengan suara bergetar.

 Orang-orang disekitar hanya sedikit. Itu mungkin dikarenakan langit yang semakin mendung. mereka hanya meliriknya saja, tanpa memberikan bantuan. Sofia menyeret kakinya yang terluka hingga sampai di gang tempat rumah lama Zay. saat itu hujan mulai turun. Kakinya semakin gemetar. Namun ia tak meyerah.

“ayo Sofia, kau bisa..” bisiknya. Ia terus menyeret kakinya hingga menginjak lantai rumah. Ia meletakan Zay di lantai dan meraih tangannya. Mencari denyut nadi. Sofia menemukannya. Zay masih berada di dunia ini. Ia melirik ke arah luka Zay yang masih mengeluarkan darah.  Sofia merobek ujung gaunnya.“Zay, tolong jangan pergi, aku akan menyelamatkanmu” bisiknya.

 ------------------------------------------------------------------------------

Tak ada seorang-pun yang berani menatapnya. Perilakunya yang tak dapat mengontrol emosi membuat mereka yakin, Alex akan menjadi yang terbaik di komplotan. Grex bahkan menjadi saksi. Kini hidungnya diperban karena tinju Alex yang kuat. Mereka hanya melirik ke arah Alex jika Alex tidak sedang menatap mereka.

Danylla menaruh makan malam di meja. menatap sekelilingnya yang begitu sepi. “hei, hei, ada apa ini? Biasanya kalian selalu ribut jika sedang makan malam?” ujarnya melihat semua anggota yang makan dengan diam.

Danylla melirik Roody, meminta penjelasan. Roody tak memberi jawaban apa-apa. Danylla menghela nafas. Ia lalu berbalik dan pergi ke dapur. Para anggota saling berpandangan, lalu melirik ke arah Alex yang beranjak pergi dari ruang makan ke kamarnya.

“psst.. hei, hei.. kemarilah” bisik Roody. Semua anggota merapat. “kalian tak mau begini terus kan? Takut dengan anak kecil yang berbeda puluhan tahun dari kalian?” bisiknya. Mereka mengangguk.

 “tapi dia hanya berbeda dua tahun denganmu, Roody” timpal Syd.

 “ya, aku tahu, tapi aku juga muak jika melihatnya sok hebat disini” ujar Roody sambil mengepalkan tinjunya. “kita habisi saja dia” lanjutnya. 

“ide buruk” kata Grex. Semua menoleh padanya.

“kenapa?” tanya Deny.

“Jika Jess mengetahui hal itu, ia akan sangat marah. Kau tahu sendiri kan, Jess beranggapan bahwa Alex adalah tambang emasnya.” Ujar Grex semakin pelan ketika Danylla menatap mereka dengan curiga. Kini semua mengangguk-angguk mengerti, kecuali Roody.

“kita lihat saja dulu, apakah dia berpengaruh baik pada komplotan kita atau tidak. Jika tidak, kita habisi dia dan aku yakin Jess akan memperbolehkannya.” Roody menyeringai.

Tiba-tiba pintu terbuka. “ketika jam dua belas, kita beraksi” ujar Jess sambil menyeringai.

 --------------------------------------------------------------

Zay membuka matanya perlahan. Dunia terlihat samar-samar di matanya. Ia melihat Sofia sedang melilitkan kain ke lukanya dengan perlahan. Wajahnya terlihat sangat khawatir.

 “tolong, jangan pergi.. tolong, jangan pergi, kumohon..” bisik Sofia. Air matanya mengalir turun ke pipinya. Matanya basah dan nafasnya tercekat. Jari-jarinya berlumuran darah. Ia menghapus air matanya sehingga darah menodai mata dan pelipisnya.

“Sofia..” bisik Zay sangat pelan.

Sofia menegakan kepalanya. Melihat Zay tersenyum lemah padanya.

“oh, Zay..  kau, kau..” Sofia tak melanjutkan kata-katanya. Ia kembali menghapus air matanya yang kembali muncul. “bertahanlah, darahnya sudah berhenti.. kau akan pulih segera jika kau beristirahat” ujar Sofia, kembali melilitkan kain putih lembut ke luka Zay.

Zay kembali tersenyum. “terima kasih,” bisiknya.

Sofia menggeleng. “Jangan berterima kasih, Zay. itu membuatku semakin merasa bersalah padamu, seharusnya aku yang berterima-kasih.” Suara Sofia bergetar.

Zay menelan ludahnya. Melirik ke arah lukanya yang sudah tertutup kain bernoda merah. Ia memejamkan matanya sebentar. Bernafas saja rasanya sakit. Ia kembali melirik, ke arah Sofia. tersenyum. Sofia terlihat Khawatir

 “Ngomong-ngomong, kenapa kau begitu khawatir padaku?” tanya Zay sedikit tersendat.

“ itu tak penting” ujar Sofia. Pandangannya tak lepas dari pekerjaannya.

“itu penting.” Tukas Zay setengah berbisik.

“tidak, kau bahkan tidak membutuhkan jawabannya. Tidak berguna, kau tahu.” Ujar Sofia lagi.

Zay terdiam sebentar. “hei, aku mengalami déjà vu,” bisiknya pelan. “perkataanmu sepertinya pernah diucapkan olehku” lanjutnya sambil tersenyum kecil.

“memang, aku mengutipnya darimu. Tidak boleh?” Sofia tersenyum sambil berusaha tertawa kecil.

Zay balas  tersenyum. “yah,” ia memejamkan matanya sebentar. “jika itu tidak, berarti..”

“Zay, tolong, jangan berbicara dulu, aku khawatir darahmu akan keluar..” bisik Sofia.

Zay terdiam. “memangnya ada hubungannya?” tanyanya.

Sofia tersenyum. “entahlah, tapi tak boleh ada yang melanggarnya.” bisik Sofia sambil mengikat kain dengan perlahan.

Zay tersenyum. Sofia begitu khawatir padanya. Mungkin lukanya ada manfaatnya juga. “maaf membuatmu repot dan menghambat perjalanan kita” ujar Zay lirih. Melanggar perkataan Sofia tentang tak boleh berbicara.

“kumohon, jangan katakan itu, Zay. Kau membuatku semakin merasa bersalah padamu. Lebih baik aku mati terbakar saja jika kau terus meminta maaf.” Kata Sofia parau. Zay tersenyum pelan ketika pandangannya kembali kabur.

-----------------------------------------------------------

Fan, Vote and Comment.. :D

Thnx Thnx Thnx a lot! :)))

Blame It OnWhere stories live. Discover now