1

576 42 5
                                    

Detak bunyi jam arlojinya terasa begitu menenangkan di hari yang mendung kali ini, membuat Ezra ingin sekali memejamkan matanya sembari menyumpal telinganya dari ceramah gurunya mengenai kesebangunan dan bangun yang kongruen. Udara sejuk yang keluar dari pendingin kelasnya benar-benar mendukung untuk tidur, ditambah kehangatan dari jaket abu-abu yang ia kenakan saat ini seakan membuainya. Dia tidak pernah mengerti mengapa perpaduan sesempurna ini tidak pernah ia temukan di meja belajarnya sendiri.

"EZRAKA!"

Suara nyaring wanita paruh baya terdengar bergaung, membuat Ezra membuka kembali matanya yang sudah hampir tertutup dan mengangkat kepalanya yang terasa berat. Pemuda itu mengerjapkan matanya dan mulai sadar apa yang terjadi. Beberapa suara tawa terdengar dari semua sudut ruangan dan Ezra menemukan sosok guru matematikanya kini berdiri semeter dari mejanya, menatapnya seakan ia adalah hama menganggu yang memang sengaja berada di kelasnya.

"Nilai ulanganmu kemarin adalah empat, Ezraka! Nilai yang kecil! Dan kau masih berani-beraninya tidur di dalam kelas saya?!" seru gurunya sambil menunjuk-nunjuk Ezra secara ganas dengan penggaris kayunya sementara Ezra menatap gurunya datar. Dia tahu apa yang akan terjadi setelah ini. "Bawa buku matematikamu, keluar dari kelas sekarang! Kerjakan Uji Kompetensi 5 dan harus selesai hari ini!"

Dengan santai Ezra mengambil buku tulisnya dan mulai membukanya. "Saya sudah selesai mengerjakannya kok, Bu," ujar Ezra dengan nada sedatar mungkin. Sudah ia bilang kan, dia sudah tahu apa yang akan terjadi setelah ini?! "Sekarang saya boleh keluar kelas?"

Guru matematikanya menggeram dan beberapa teman sekelasnya berdecak-decak, entah decakan kagum atau decakan menghina. Ezra tidak peduli. Dia bangkit dari mejanya, menaruh buku matematiknya di meja guru dan mulai melangkah keluar. Semua pasang mata di kelasnya menatapnya, padahal itu kejadian yang sering terjadi—hampir seminggu sekali. Sementara Ezra hanya bisa menyeringai kecil, dia sudah mengerjakan Uji Kompetensi 5 lebih dulu dan dapat jam kosong.

Memang selalu menyenangkan untuk menjadi diri sendiri.

 

Kopi hitam kotakan Ezra kini sudah kosong. Ia meremasnya dan melemparnya ke tong sampah terdekat. "Gue yakin kok jawaban Uji Kompetensi 5 yang gue kumpulkan tadi itu benar semua," katanya dengan percaya diri sambil membenarkan letak topi putih-birunya yang ia kenakan miring ke belakang. Ia mungkin terlihat seperti anak kampung, tetapi Ezra sangat suka gayanya saat ini. "Dan gue juga yakin yang memeriksa tugas gue akan terdiam sambil mengagumi jawaban gue."

Pemuda yang sedari tadi berjalan di samping Ezra—Husein—berdecak kecil sebelum menepuk-nepuk keras punggung Ezra. "Kalau tugas-tugas kayak gitu nilai lo selalu bagus. Tapi kenapa kalau ulangan nilai lo jelek banget?" tanya Husein, menyeruput es teh manis yang tadi dibelinya. Ezra sendiri terbatuk-batuk karena tepukan Husein yang menurutnya dahysat sebelum mendelik tajam.

"Gampang aja. Pas ulangan gue selalu ketiduran di awal-awal, dan gue baru akan terbangun ketika waktu yang tersisa dua puluh menit lagi. Otomatis gue jawab seadanya dong," kata Ezra kemudian tersenyum penuh kemenangan. Menurutnya itu hal yang hebat, mengerjakan soal matematika hanya dalam dua puluh menit meski nilainya selalu dibawah angka tujuh. "Tapi dapat nilai empat juga sudah merupakan prestasi bagi gue. Kan tidak sampai menyentuh angka tiga."

Husein memutar bola matanya. "Dapat nilai empat saja sudah bangga. Bagaimana kalau lo dapat nilai sembilan?! Mungkin lo akan mati di tempat saat itu juga." Katanya sinis tetapi kemudian diiringi tawa kecil yang santai.

Ezra tersenyum miring. Alasannya berbangga hati mendapat nilai empat di pelajaran matematika bukanlah seperti itu. Alasan sebenarnya adalah dia memang tidak pernah mengerti pelajaran tersebut. Aneh memang, tetapi Ezra tidak pernah begitu paham pelajaran matematika. Dia hanya memahami konsepnya saja, tetapi bila sudah masuk ke soal yang menguji pengembangan konsep, lebih baik dia mengisinya setengah jalan saja. Selebihnya, dia tidak tahu. Ezra tidak akan sudi menyontek jawaban orang lain, karena menurutnya  itu perbuatan yang hina.

LegamWhere stories live. Discover now